Jumat, 12 Desember 2008

SAMA RATA WARISAN

Harta (Warisan) Dibagi Sama Rata
Pendekatan ini saya ambil karena keharusan orangtua yang membagikan harta tersebut kelihatannya bisa terjadi dalam beberapa skenario.
Skenario pertama, orangtua dimaksud masih hidup dan harta tersebut adalah miliknya sendiri. Harta ini bukan warisan dan pemberian yang dilakukan orangtua tidak tunduk pada hukum warisan. Kalimat “keputusan orangtua” di atas mengindikasikan bahwa mereka belum meninggal dunia. Pembagian harta milik sendiri (bukan warisan) semacam ini tidak diatur bahagian-bahagiannya secara rinci, kecuali secara umum yang menyangkut kewajiban orangtua untuk bersikap adil kepada anak-anaknya.
Kedua, orangtua dimaksud membagi hartanya secara sama rata untuk semua anak tersebut melalui jalan wasiat. Jika itu dilakukan melalui jalan wasiat, maka harus diingat beberapa hal:
*Jumlah maksimal yang dapat diwasiatkan adalah 1/3 dari keseluruhan harta yang ditinggalkannya. Hal ini berdasarkan antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqas r.a. ujarnya, “’Rasulullah SAW datang mengunjungi saya pada tahun Haji wada’ di waktu saya menderita sakit keras. Lalu saya bertanya: “Hai Rasulullah! Saya sedang menderita sakit keras. Bagaimana pendapat Tuan. Saya ini orang berada, tetapi tidak ada yang dapat mewarisi hartaku selain seorang anak saya perempuan, apakah sebaiknya saya wasiatkan dua pertiga hartaku (untuk beramal)?” “Jangan,” jawab Rasulullah. “Separoh, ya Rasululullah?” sambungku. “Jangan,” jawab Rasululllah. “Lalu sepertiga?” sambungku lagi. Rasululllah menjawab, “Sepertiga, sebab sepertiga itu banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (HR Bukhari dan Muslim)
*Yang dapat dijadikan penerima wasiat adalah mereka yang tidak berhak menerima warisan atau, apabila penerima wasiat terdiri dari mereka yang berhak menerima warisan, mendapat izin dari para ahli waris. Demikian jumhur ulama dari kalangan madzhab Syafi’iyah dan beberapa dari kalangan ulama Malikiyah, walaupun hal ini dipertentangkan oleh para fuqaha dari madzhab lainnya. Tidak ada perbedaan pendapat untuk mewasiatkan maksimal sepertiga dari harta peninggalan kepada selain ahli waris.
*Dengan demikian, dan dengan berpegang pada pendapat jumhur di atas, maka yang dapat diwasiatkan untuk dibagi sama rata tidak lebih daripada sepertiga dari jumlah harta peninggalannya, dengan catatan tambahan semua ahli waris menyetujuinya. Yang dimaksud dengan harta peninggalannya adalah hartanya setelah dikurangi biaya kematian dan hutang-hutangnya.Ketiga, harta yang dimaksud adalah warisan (pusaka) dari orang lain yang telah meninggal dunia. Dalam syariat, pembagian warisan sudah diatur dengan jelas dan tidak ada celah untuk menggugatnya lagi. Kita harus rela menerimanya, walaupun banyak atau sedikit. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 7, yang artinya:“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS 4:7)Rasulullah SAW bersabda, “Bagilah harta pusaka antara ahli-ahli waris menurut Kitabullah (Qur’an)”. (HR Muslim dan Abu Dawud).Apabila seorang mayit hanya meninggalkan seorang anak laki-laki dan dua anak perempuan sebagai ahli warisnya, maka harta warisan tersebut harus dibagi sebagai berikut:
*Anak laki-laki mendapat 2/4 (atau setengah); dan
*Anak perempuan masing-masing mendapat 1/4 (seperempat).Hal tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya sebagai berikut:“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS 4:11)Bila harta warisan tersebut dibagi sama rata (yaitu masing-masing 1/3), maka terjadi ketimpangan sebagai berikut:* Anak laki 1/3 – 2/4 = kekurangan 1/6 bagian; dan
* Anak perempuan 2/3 – 2/4 = kelebihan 1/6, atau masing-masing kelebihan 1/12 bagian.KutipanKutipanHarta yang seperenam mengalami penyalahgunaan, yaitu milik anak laki-laki berpindah tangan kepada anak perempuan secara tidak sah. Seyogyanya wanita muslimah mengembalikan kelebihan harta tersebut kepada saudara laki-laki mereka. Tidak ada jalan bagi kedua wanita tersebut untuk menerima kelebihan harta itu.Banyak orang berkilah dengan mengatakan ada hukum selain hukum Allah yang mengatur pembagian warisan. Ini adalah penyimpangan yang besar. Bagi seorang mukmin, apabila Allah sudah mengatur suatu urusan maka tidak ada lagi pilihan baginya untuk mengambil hukum yang lain.Ada beberapa firman Allah SWT untuk dijadikan rujukan:“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS 5:50)“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS 33:36)“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 4:13)“Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Allah bakal memasukkannya ke dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan.”( QS 4: 14)Untuk Saudara, dan setiap umat Islam yang dihadapkan pada masalah faraidh (pembagian harta warisan), tidak ada pilihan kecuali mengikuti ketentuan-ketentuan Allah yang sudah jelas dan terang. Pembagian warisan sama rata antara anak laki dan perempuan tidak dapat dibenarkan menurut syariat dan ancaman bagi pelanggarnya adalah neraka Jahannam. KesimpulanKalau yang dibagi adalah harta sendiri selama masih hidup, maka hendaknya orangtua memperhatikan kebutuhan masing-masing anak sehingga pembagian tersebut dirasakan adil oleh mereka. Ada baiknya, orang tua menjelaskan kepada anak-anak mengenai alasan mereka melakukan pembagian yang sama rata.Bila dilakukan melalui proses wasiat, jumlah maksimal yang bisa dibagikan adalah sepertiga dari jumlah hartanya dengan catatan bahwa ketiga anak tersebut menyetujuinya. Bila salah seorang atau lebih anak tidak menyetujuinya, maka orangtua tersebut tidak dapat mewasiatkan apapun untuk penerima waris (ahli waris). Dia dapat mewasiatkan jumlah yang sama (maksimal 1/3) untuk bukan penerima warisan.Apabila harta tersebut adalah peninggalan orangtua yang telah meninggal dunia, maka pembagian warisan mengikuti ketentuan Kitabullah, yaitu 2/4 untuk anak laki dan 1/4 untuk masing-masing anak perempuan (yang berjumlah dua orang). Demikian apabila tidak ada penerima warisan lainnya dan semua ahli waris yang disebutkan tadi memenuhi syarat. Pembagian warisan yang sesuai dengan Kitabullah akan diganjar Allah dengan kemenangan yang besar sedangkan pembagian di luar ketentuan tersebut diancam dengan neraka yang menghinakan.

Kamis, 11 Desember 2008

MEMBAGI WARIS MENURUT KUH PERDATA

Bagaimana Membagi Waris Menurut KUH Perdata?

Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata). Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan. Keluarga Bambang (bukan nama sebenarnya) di Solo, misalnya. Mereka mempunyai permasalahan seputar warisan sejak 7 tahun yang lalu. Awalnya keluarga ini tidak mau membawa masalah ini ke meja hijau tapi sayangnya, ada beberapa ahli waris yang beritikad buruk. Karena itu keluarga Bambang akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum. Hingga awal tahun 2006, kasusnya masih dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi setempat dan belum ada putusan. Ilustrasi ini hanya satu dari banyak masalah harta waris yang masuk ke pengadilan. Mengingat banyaknya kasus semacam ini, ada baiknya kita mengetahui bagaimana sebenarnya permasalahan ini diselesaikan dengan Hukum Waris menurut Undang-Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Berhak Mendapatkan Warisan Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan warisan yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan. Mereka yang berhak menerima dibagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya, keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris (Lihat Boks 4 golongan pembagian waris). Sedangkan pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli waris berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi waris meninggal nanti. Ini semua termasuk persentase berapa harta yang akan diterima oleh setiap ahli waris. Tidak Berhak Menerimanya Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut menerima warisan. Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris. Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan. Pengurusan Harta Warisan Masalah warisan biasanya mulai timbul pada saat pembagian dan pengurusan harta warisan. Sebagai contoh, ada ahli waris yang tidak berbesar hati untuk menerima bagian yang seharusnya diterima atau dengan kata lain ingin mendapatkan bagian yang lebih. Guna menghindari hal tersebut, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan oleh Anda yang kebetulan akan mengurus harta warisan, khususnya untuk harta warisan berupa benda tidak bergerak (tanah dan bangunan). Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat Surat Keterangan Kematian di Kelurahan/Kecamatan setempat. Setelah itu membuat Surat Keterangan Waris di Pengadilan Negeri setempat atau Fatwa Waris di Pengadilan Agama setempat, atau berdasarkan Peraturan Daerah masing-masing. Dalam surat/fatwa tersebut akan dinyatakan secara sah dan resmi siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dari pewaris. Apabila di antara para ahli waris disepakati bersama adanya pembagian warisan, maka kesepakatan tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris. Jika salah satu pembagian yang disepakati adalah pembagian tanah maka Anda harus melakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan Surat Kematian, Surat Keterangan Waris atau Fatwa Waris, dan surat Wasiat atau Akta Pembagian Waris bila ada. Satu bidang tanah bisa diwariskan kepada lebih dari satu pewaris. Bila demikian maka pendaftaran dapat dilakukan atas nama seluruh ahli waris (lebih dari satu nama). Nah, dengan pembagian waris yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang maka diharapkan bisa meminimalkan adanya gugatan dari salah satu ahli waris yang merasa tidak adil dalam pembagiannya.
Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan
A. GOLONGAN I. Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Ayah Ibu Pewaris Saudara Saudara B. GOLONGAN II Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris. Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian
C. GOLONGAN III kakek nenek kakek nenek Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah. Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.
D. GOLONGAN IV Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya. TIP Sebelum melakukan pembagian warisan, ahli waris harus bertanggungjawab terlebih dahulu kepada hutang-piutang yang ditinggalkan oleh pewaris semasa hidupnya.

SERTIFIKAT SEBAGAI ALAT BUKTI

Kita mengenal macam-macam sertifikat hak atas tanah, ada Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) ataupun Sertifikat Hak atas Satuan Rumah Susun (SHSRS).Sertifikat hak atas tanah menjadi dambaan dari setiap pemegang hak atas tanah. Serasa masih ada yang kurang dan belum mantap bila pemilikan atau penguasaan atas tanah itu belum disertai bukti pemilikan berupa sertifikat. Hal itu memang benar dan sudah selayaknya setiap orang mengusahakan agar ia memperoleh sertifikat karena Undang-Undang PokokAgraria (UUPA) No.5/1960 menjamin hal itu bahwa adalah hak dari setiap pemegang hak atas tanah untuk memperoleh sertifikat (UUPA Pasal 4 ayat 1). Sertifikat memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya. Dari sekian fungsi yang ada, dapat dikatakan bahwa fungsi utama dan terutama dari sertifikat adalah sebagai alat bukti yang kuat, demikian dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA. Karena itu, siapapun dapat dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah bila telah jelas namanya tercantum dalam sertifikat itu. Diapun selanjutnya dapat membuktikan mengenai keadaankeadaan dari tanahnya itu misalnya luasnya, batas-batasnya, ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang tanah dimaksud. Dan jika dikemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak kepemilikan / penguasaan atas tanah, maka semua keterangan yang dimuat dalam sertifikat hak atas tanah itu mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan karenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benarsepanjang tidak ada bukti lain yang mengingkarinya atau membuktikan sebaliknya. Tetapi jika ternyata ada kesalahan didalamnya, maka diadakanlah perubahan / pembetulan seperlunya. Dalam hal ini yang berhak melakukan pembetulan bukanlah pengadilan melainkan instansi yang menerbitkannya yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan jalan pihak yang dirugikan mengajukan permohonan perubahan sertifikat dengan melampirkan surat keputusan pengadilan yang menyatakan tentang adanya kesalahan dimaksud.Selain fungsi utama tersebut diatas, sertifikat memiliki banyak fungsi lainnya yang sifatnya subjektif tergantung daripada pemiliknya. Sebut saja, misalnya jika pemiliknya adalah pengusaha, maka sertifikat tersebut menjadi sesuatu yang sangat berarti ketika ia memerlukan sumber pembiayaan dari bank karena sertifikat dapat dijadikan sebagai jaminan untuk pemberian fasilitas pinjaman untuk menunjang usahanya. Demikian juga contoh-contoh lainnya masih banyak yang kita bisa sebutkan sebagai kegunaan dari adanya sertifikat tersebut.

Yang jelas bahwa sertifikat hak atas tanah itu akan memberikan rasa aman dan tenteram bagi pemiliknya karena segala sesuatunya mudah diketahui dan sifatnya pasti serta dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Lalu apa yang dimaksud dengan sertifikat itu sendiri ? Untuk mengetahui hal ini, dapat diketengahkan bunyi Pasal 13 ayat 3 PP No.10 tahun 1961 yang menyebutkan bahwa ”Salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersamasama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut sertifikat dan diberikan kepada yang berhak”. Dari ketentuan pasal itu kiranya jelaslah bagi kita apa yang dimaksud dengan sertifikat hak atas tanah itu, yaitu sebagai salinan daripada buku tanah dan surat ukur tanah yang diikat menjadi satu. Asli sertifikat itu sendiri adanya di kantor BPN dan kepada tiap-tiap pemegang hak hanya diberikan salinannya saja.


PROSES PENSERTIFIKATAN TANAH

Di Indonesia, dikenal ada dua cara pendaftaran tanah yakni sporadik dan sistematik. Untuk cara sistematik karena ini berkaitan langsung dengan program pemerintah terasa tidak terlalu ada kendala dilapangan. Tetapi bagi yang menempuh cara sporadik atau yang inisiatifnya berasal dari pemilik tanah dengan mengajukan permohonan, pengalaman selama ini pada umumnya serasa banyak masalah. Tidak heran jika selama ini telah terbentuk kesan bahwa untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah itu sangat sulit, memakan waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang mahal. Kesulitan itu biasanya timbul karena berbagai faktor seperti kurang lengkapnya suratsurat tanah yang dimiliki oleh pemohon, kesengajaan dari sementara oknum aparat yang memiliki mental tak terpuji dan/atau karena siklus agraria belum berjalan sebagaimana mestinya. Secara objektif harus diakui bahwa tatacara memperoleh sertifikat itu masih terlalu birokratis, berbelit-belit dan sulit dipahami oleh orangawam. Kenyataan ini sering menimbulkan rasa enggan untuk mengurus sertifikat bila tidak benar-benar mendesak dibutuhkan. Sering pula dirasakan bahwa jumlah biaya, waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk mengurus sertifikat kadangkala tidak sebanding dengan manfaat langsung dari sertifikat itu sendiri. Oleh karena itu kiranya lebih bijaksana apabila diusahakan untuk memperpendek birokrasi tersebut sehingga pelayanan perolehan sertifikat dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat, efektif dan efisien.Tentang prosedur pengurusan dan penerbitan sertifikat sebetulnya sudah diatur dalam PP No.10 tahun 1961 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Menurut ketentuan tersebut seseorang dalam mengurus sertifikatnya harus melewati 3 (tiga) tahap, yang garis besarnya adalah sebagai berikut :

Tahap 1 :Permohonan hak.

Pemohon sertifikat hak atas tanah dibagi menjadi 4 golongan, dan masing-masing diharuskan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu :

1) Penerima Hak, yaitu para penerima hak atas tanah Negara berdasarkan Surat Keputusan pemberian hak yang dikeluarkan pemerintah cq. Direktur Jenderal Agraria atau pejabat yang ditunjuk. Bagi pemohon ini diharuskan melengkapi syarat :a. Asli Surat Keputusan Pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.b. Tanda lunas pembayaran uang pemasukan yang besarnya telah ditentukan dalam Surat Keputusan pemberian hak atas tanah tersebut.

2) Para Ahli Waris, yaitu mereka yang menerima warisan tanah, baik tanah bekas hak milik adat ataupun hak-hak lain. Bagi pemohon ini diharuskan melengkapi syarat :
1. Surat tanda bukti hak atas tanah, yang berupa sertifikat hak tanah yang bersangkutan.
2. Bila tanah tersebut sebelumnya belum ada sertifikatnya, maka harus disertakan surat tanda bukti tanah lainnya, seperti surat pajak hasil bumi / petok D lama / perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
3. Surat Keterangan kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.
4. Surat keterangan waris dari instansi yang berwenang.
5. Surat Pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
6. Turunan surat keterangan WNI yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
7. Keterangan pelunasan pajak tanah sampai saat meninggalnya pewaris.
8. Ijin peralihan hak jika hal ini disyaratkan.

3) Para pemilik tanah, yaitu mereka yang mempunyai tanah dari jual-beli, hibah, lelang, konversi hak dan sebagainya.
Bagi pemohon ini diharuskan memenuhi syarat :
1. Bila tanahnya berasal dari jual beli dan hibah :
1) Akta jual beli / hibah dari PPAT.
2) Sertifikat tanah yang bersangkutan.
3) Bila tanah tersebut sebelumnya belum ada
sertifikatnya, maka harus disertakan surat tanda bukti tanah lainnya, seperti surat pajak hasil bumi / petok D lama /
perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang
berwenang.
4) Surat keterangan dari kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat tanda bukti hak
tersebut.
5) Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
6) Turunan surat keterangan WNI yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.
7) Ijin peralihan hak jika hal ini disyaratkan.

1. Bila tanahnya berasal dari lelang :
1) Kutipan otentik berita acara lelang dari kantor lelang.
2) Sertifikat tanah yang bersangkutan atau tanda bukti hak atas
tanah lainnya yang telah kepala desa dan dikuatkan oleh camat.
3) Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah
dimiliki.
4) Keterangan pelunasan / bukti lunas pajak tanah yang bersangkutan.
5) Turunan surat keterangan WNI yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.
6) Surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) yang diminta sebelum lelang.

1. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah adat, maka syarat-syaratnya adalah :
1) Bagi daerah yang sebelum UUPA sudah dipungut pajak :· Surat pajak hasil bumi / petok D lama, perponding Indonesia dan segel-segel lama.· Keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.· Surat asli jualbeli, hibah, tukarmenukar, dan sebaginya.· Surat kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan.· Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dn tidk dijadikan tanggungan hutang serta sejak kapan dimiliki.
2) Bagi daerah yang sebelum UUPA belum dipungut pajak :
· Keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
· Surat asli jual-beli, hibah, tukar menukar, dan sebagainya yang diketahui atau dibuat oleh kepala desa / pejabat yang setingkat.
· Surat kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang
bersangkutan.
· Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dan tidak dijadikan tanggungan hutang serta sejak kapan dimiliki.

1. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah hak barat, misalnya eks tanah hak eigendom, syarat-syaratnya adalah :
1) Grosse akta.
2) Surat Ukur.
3) Turunan surat keterangan WNI yang disahkan oleh pejabat berwenang.
4) Kuasa konversi, bila pengkonversian itu dikuasakan.
5) Surat pernayataan pemilik yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa, tidak dijadikan tanggungan hutang, sejak kapan dimiliki dan belum pernah dialihkan atau diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain.
4) Pemilik sertifikat hak tanah yang hilang atau rusak. Bagi pemohon ini diharuskan memenuhi syarat :
a. Surat keterangan kepolisian tentang hilangnya sertifikat tanah tersebut.
b. Mengumumkan tentang hilangnya sertfikat tanah terseut dalam Berita Negara atau harian setempat.
c. Bagi pemohon yang sertifikatnya rusak, diharuskan menyerahkan kembali sertifikat hak atas tanah yang telah rusak tersebut.Pada intinya semua keterangan diatas diperlukan untuk mengklarifikasi data guna kepastian hukum atas subjek yang menjadi pemegang hak dan objek haknya. Bila keterangan-keterangan tersebut terpenuhi dan tidak ada keberatan-keberatan pihak lain, maka pengurusan sudah dapat dilanjutkan ketahap selanjutnya..
Tahap 2 :
Pengukuran dan Pendaftaran hak Setelah seluruh berkas permohonan dilengkapi dan diserahkan ke Kantor Pertanahan setempat, maka proses selanjutnya di kantor pertanahan adalah pengukuran, pemetaan dan pendaftaran haknya. Bila pengukuran, pemetaan dan pendaftaran itu untuk pertama kalinya maka ini disebut sebagai dasar permulaan (opzet), sedangkan bila kegiatan itu berupa perubahan-perubahan mengenai tanahnya karena penggabungan dan/atau pemisahan maka kegiatan itu disebut sebagai dasar pemeliharaan (bijhouding).Untuk keperluan penyelenggaraan tata usaha pendaftaran tanah tersebut dipergunakan 4 (empat) macam daftar yaitu : daftar tanah, daftar buku tanah, daftar surat ukur dan daftar nama.Untuk kegiatan-kegiatan pengukuran, pemetaan dan lain sebagainya itu harus diumumkan terlebih dahulu, dan kegiatan-kegiatan tersebut akan dilakukan setelah tenggang waktu pengumuman itu berakhir dan tidak ada keberatan dari pihak manapun. Untuk pemohon ahli waris dan pemilik tanah, pengumumannya diletakkan di kantor desa dan kantor kecamatan selama 2 bulan. Untuk pemohon yang sertifikatnya rusak atau hilang, pengumumannya dilakukan lewat surat kabar setempat atau Berita Negara sebanyak 2 kali pengumman dengan tenggang waktu satu bulan.Dalam pelaksanaan pengukuran, karena hakekatnya akan ditetapkanbatas-batas tanah maka selain pemilik tanah yang bermohon, perlu hadir dan menyaksikan juga adalah pemilik tanah yang berbatasan dengannya. Pengukuran tanah dilakukan oleh juru ukur dan hasilnya akan dipetakan dan dibuatkan surat ukur dan gambar situasinya.
Atas bidang bidang tanah yang telah diukur tersebut kemudian ditetapkan subjek haknya, kemudian haknya dibukukan dalam daftar buku tanah dari desa yang bersangkutan. Daftar buku tanah terdiri atas kumpulan buku tanah yang dijilid, satu buku tanah hanya dipergunakan untuk mendaftar satu hak atas tanah. Dan tiap-tiap hak atas tanah yang sudah dibukukan tersebut diberi nomer urut menurut macam haknya.
Tahap 3 :
Penerbitan sertifikatTahapterakhir yang dilakukan adalah membuat salinan dari buku tanah dari hak-hak atas tanah yang telah dibukukan. Salinan buku tanah itu beserta surat ukur dan gambar situasinya kemudian dijahit / dilekatkan menjadi satu dengan kertas sampul yang telah ditentukan pemerintah, dan hasil akhir itulah yang kemudian disebut dengan sertifikat yang kemudian diserahkan kepada pemohonnya. Dengan selesainya proses ini maka selesailah sertifikat bukti hak atas tanah yang kita mohonkan.Untuk lancarnya tahap-tahap tersebut diatas, pemohon senantiasa dituntut untuk aktif dan rajin mengurus permohonannya itu.
Segala kekurangan persyaratan bila mungkin ada, harus diusahakan untuk dilengkapinya sendiri. Kelincahan dalam mengurus kelengkapan dari syarat-syarat ini akan sangat berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya penerbitan sertifikat. Untuk itu perlu adanya komunikasi aktif yang dilakukan oleh pemohon kepada petugas di Badan Pertanahan
untuk mengetahui progres pengurusan / penerbitan sertifikatnya.
*) Raimond Flora Lamandasa, SH, MKn adalah alumni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tinggal di Bogor.
[1] Sudjito, Prona, Penserifikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah Yang bersifat Strategis, Liberty Yogyakarta, 1987, hal. 74-81.

BATAL HIBAH


Hibah dapat dikatakan batal demi hukum ataupun dapat dimintakan pembatalannya, tergantung dari syarat-syarat manakah yang dilanggar.Untuk menemukan konstruksi hukumnya, pasal 1320 BW secara garis besar harus dibaca sebagai berikut :Syarat syahnya perjanjian :

1.Sepakat ;

2.Cakap ;

3.Hal tertentu ;

4.Sebab yang halal.

Syarat

No.1/ Sepakat dan syarat

No.2/Cakap disebut sebagai syarat Subjektif yaitu syarat yang berkaitan atau ditujukan pada si subjek hukum atau orangnya; yang apabila tidak memenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur tersebut maka suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalannya.Sedangkan syarat

No.3/Suatu hal tertentu dan syarat

No.4/Sebab yang halal disebut syarat Objektif yaitu syarat yang ditujukan pada objek hukum atau bendanya.

Apabila tidak memenuhi syarat-syarat/ unsur-unsur tersebut maka suatu perjanjian batal demi hukum.Dengan demikian, apabila dikatakan suatu hibah batal demi hukum maka tidak perlu dilakukan permohonan pembatalannya kepada hakim (oleh si pemberi hibah) karena secara yuridis hibah tersebut tidak pernah ada dan konsekuensi-konsekuensi hukumnyapun tidak ada. Akan tetapi, apabila ada pelanggaran syarat No.1 dan No.2 maka dapat dimintakan pembatalannya oleh si pemberi hibah/ orang yang paling berhak.Sebagai catatan: kata dapat dalam terminologi hukum mengandung opsi yang ditujukan kepada si pemberi hibah / orang yang paling berhak untuk melakukan proses pembatalannya melalui hakim di pengadilan.2) Hibah yang terlanjur terproses dan penerima hibah adalah anak yang belum dewasa maka dikategorikan sebagai tidak cakap secara hukum; dalam hal ini hibah tersebut seharusnya disebutkan siapa pihak yang ditunjuk sebagai walinya sampai anak berusia dewasa atau telah menikah. Pertanyaan apakah diperlukan penetapan pengadilan bagi orang tua untuk mengembalikan objek hibahnya maka, kembali kepada unsur No.2/Cakap sebagaimana telah diterangkan diatas maka hibah dapat dimintakan pembatalannya melalui hakim di pengadilan.

HIBAH DAN WASIAT


HIBAH DAN WASIAT
Hibah dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri. Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182).
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi HukumIslam (KHI) kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Tidak prinsip memang antara yang lebih dahulu disebut atau dibahas antara hukum hibah dan hukum wakaf, namun sistematika pembahasan terhadapmateri tersebut dalam tnini hukum hibah dan hukum wakaf dimulai membahas hibah, perbuatan hukum yang berlakunya setelah kematian pemberi wasiat.Hibah dam wasiat berdasarkan hukumislam dalam konteks kompetensi absolut Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah kewenangan Peradilan Agama (pasal 49 ayat(1) UUPA, sedang hibah dan wasiat didalam KHI merupakan pedoman bagi hakim Pengadilan Agama khususnya untukmenyelesaikan masalah-masalah berkenan bidang hukum yang terdapat didalamnya (Inpres nomor 1 Tahun 1990).

Hibah dan wasiat yang dirumuskan dalam pasal demi pasal KHI tidak lepas dari kitab-kitab fiqih dan justru memang bersumber dari al-Quran, hadist dan kitab-kitab fiqih. Mengaitkan materi KHI dengan kajian fiqih dalam tulisan ini, karena hibah dan wasiat yang dimuat dalam KHI bukanlah suatu ketentuan yang final dan telah mencakup permasalahan hibah dan wasiat. Disebutkan dalam impres, bahwa KHI merupakan pedoman yang mengisyaratkan patokan umum yang memerlukan perkembangan dan pengkajian lebih lanjut yang tidak lain pengembangannya merujuk pada kajian fiqih, karena dalam kitab fiqih dijelaskan latar belakang dan lahirnya pendapat Ulama Fiqih terhadap obyek yang dikaji dan segala kemungkinan yang akan timbul, sehingga dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqih merupakan dasar untuk mengembangkan dan menafsirkan lebih lanjut hasil kajian yang sudah ada.
Disamping itu sudah menjadi kodrat, bahwa hukum yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini KHI tidak menampung permasalahan hukum yang timbul dalam kehidupan manusia, yang senantiasa berubah dengan membaur permasalahan yang baru, apalagi hibah dan wasiat yang belum diatur dalam KHI hanya terdiri beberapa pasal yang tidak menutup kemungkinan permasalahan hukum di bidang hibah dan wasiat belum diatur yang memerlukan penafsiran hukum dalam penerapannya. Hampir setiap hukum yang diatur dalam peraturan prundangundangan tidak mampu menampung permasalahan hukum yang berakselerasi dengan perkembangan masyarakat.
Wajarlah kalau dikatakan hukum berjalan tertatih-tatih dibelakang perkembangan zaman, karena hukum tidak mampu mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun lengkapnya suatu kitab hukum, tidak mampu mengantisipasi persoalan hukum yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Adalah suatu kodrat, bahwa kehidupan dan perilaku pergaulan manusia secara kontinyu mengalami perubahan. Para ahli ilmu sosial mengajarkan, bahwa sesungguhnya tidak ada masyarakat yang statis, tidak bergerak, melainkan yabg ada adalah masyarakat manusia yang secara terus menerus mengalami perubahan. Hanya saja gerak perubahan dari masyarakat yang lain, ada yang cepat, tetapi ada pula yang lambat. Hal ini merupakan ciri dari kehidupan masyarakat. W. Fridmann yang diikuti oleh Teuku Muhammad Radhi, SH. mengatakan, tempo dari perubahan-perubahan sosial pada zaman ini telah berakselerasi pada titik dimana asumsi-asumsi pada hari ini mungkin tidak berlaku dalam beberapa tahun yang akan datang (Teuku Muhammad Radhi, SH, 1981 : 8). Ibnu Kholdun (1332-1440) mengatakan, bahwa keadaan umat manusia, adat kebiasaan dan peradabannya tidaklah pada suatu gerak dan khittoh yang tetap, melainkan berubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan tempat, maka keadaan ini terjadi pula pada dunia dan negara.
Sungguh sunnatullah berlaku pada hamba-hambaNya (Subhi Mahmassani, 1981 , 160).Adapun tulisan ini menyisipkan pembahasan hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang ketentuan yang terdapat dalam hukum Islam dengan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, sebab wasiat dan hibah yang diatur dalam KUH Perdata tidak lepas dari pengaruh hukum Islam. Meskipun atas pengaruh hukum Islam, tetapi berbeda nilai idiilnya dengan hukum islam, karena dalam KUH Perdata hibah dan wasiat digolongkan perjanjian cuma-cuma yang tidak mengandung unsur kasih sayang dan tolong menolong. sedangkan dalam hal islam perbuatan hukumnya dilihat dari kamul khomsah pada assanya sunnah (Al-Baqoroh ayat 177 dan 180). Hibah dalam KUH Perdata merupakan bagian dari hukum perjanjian dan digolongkan perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu diwaktu hidupnya (Subekti,1991,1). Pada asasnya suatu perjanjian adalah bersifat timbal balik, seseorang menyanggupi memenuhi prestasi disebabkan dia akan menerima kontra prestasi dari pihak lain. Meskipun hibah termasuk hukum perjanjian cuma-cuma, karena hanya ada prestasi dari satu pihak saja (Penghibah), sedangkan penerima hibah tidak ada kewajiban untuk memberikan kontra prestasi kepada penghibah. Dikatakan diwaktu hidupnya untuk membedakan hibah dengan testamen atau hibah antara suami istri dalam islam diperbolehkan. Hibah dalam KUH perdata tidak boleh ditarik kembali, sedang dalam islam dapat ditarik kembali, khusus hibah orangtua kandung kepada anak kandungnya.Hibah dan Wasiat dalam KUH Perdata (BW)Materi hukum tentang hibah dan wasiat dalam KUH Perdata.
(BW) sendiri bukan diambil dari codex justinianus carpus juris civilis yang menurut para sejarah sebagai sumber hukum modern dan bukan pula hibah dan wasiat diambil dari kitab undang-undang hasil imajinasi napolion yang dimuat dalam codex napolion yang merupakan sal usul KUH perdata (BW), tetapi codex napolion justru ide dasarnya ditranformasikan dari kitab fiqih karya imam Asy-Syarkowi yang kemudian dalam aplikasinya terdapat perbedaan yang mendasar antara hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dengan hibah dan wasiat dalam hukum Islam. Masih melekat dikalangan dunia hukum, bahwa hukum modern selalu dikaitkan dengan negara Eropa, karena memang sejarah hukum senantiasa dikaitkan dengan hukum Romawi, mengingat pengaruh hukum Romawi terhadap perkembangan hukum pada negaranegaradi Eropa sangat besar, khususnya dibidang hukum perdata yang dikembangkan melalui hukum universal atau hukum umum (jus comune, jus gentium). Jus comune atau jus gentium ini merupakan codex justinianusyang pada abad ke VI dikodifikasikan sebagai sebuah hukum tertulis oleh Negara-negara Eropa pada abad ke XV dan abad ke XVI.
Codex justinianus khususnya hukum perdata menjadi sumber utama dari hukum perdata modern(Theo Huibers, 1990:34).Meskipun Codex Justinianus khususnya dibidang hukum perdata yang dikatakan menjadi sumber utama dari hukum perdata modern, namun BW (KUH Perdata) yang sekarang berlaku di Indonesia yang doberlakukan berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945 adalah bersumber dan meniru kitab fiqih hasil karya Ulama Islam.Kitab fiqih mazhab sudah ada sejak tahun 800 M sedangkan BW Eropa baru pada awal abad XIX M, yakni berdasarkan code napolion yang disusun setelah napolion kembalidari bermukim di Mesir selama kurang lebih 15 bulan antara Bulan Mei 1798 sampai bulan Agustus 1799. Sejarah KUH Perdata (BW) Indonesia sendiri adalah mengikuti kodeifikasi BW di negeri Belanda (1838), sedangkan BW belanda mengikuti BW perancis yang terkenal code napolion (1807). Adapun kodifikasi Hukum Perancis yang merupakan cikal bakal hukum perdata modern Eropa sekarang sesungguhnya berpangkal pada 2 (dua) sumber yaitu Hukum Romawi dan Hukum Islam, hukum Romawi terkenal dengan kodifikasi Yustinianus (483-565) yang disebut Codex Justinianus atau justinianus corpus juris civilis. Sedangkan hukum fiqih Islam diambil oleh Napolion dan dimuat dalam Code napolion berasal dari kitab fiqih susunan Abudalah Asy-Syarkowi (1737-1812 M). Pada waku Napolion menduduki Kairo Mesir, jabatan Asy-Syarkowi adalah Syaikhul Azhar yang diminya napolion membantu hukum Perancis, yaitu Portalis, Tronchet, Bigot De Preameneu dan Mallevilie yang keempatnya adalah para Sarjana Hukum Prancis yang turut Napolion ke Mesir. Hasil karya tim hukum Prancis tersebut yang dibantu oleh Imam Asy-Syarkowi inilah BW Prancis disusun tersebar di nagar-negara Eropa yang dikatakan sumber hukum modern, termasuk yang diadopsi belanda dan diberlakukan pada negara jajahannya termasuk Indonesia yang sampai sekarang BW Belanda tersebut masih berlaku positif di Indonesia yang dikenal dengan KUH Perdata, padahal di Belanda sendiri KUH Perdata tersebut sudah dilakukan perubahan. Oleh karena itu tidak aneh kalau dalam KUH Perdata memuat atau membicarakan materi hukum hibah dan wasiat dalam pasal-pasalnya yang tidak lain adalah diambil dari kitab fiqih Imam Asy-Syarkowi, meskipun telah dilakukan perubahan yang justru telah bertentangan dengan ketentuan hibah dan wasiat dalam hukum Islam. pasal 874 sampai dengan pasal 1022 KUH Perdata tentang wasiat dan hibah adalah berdasarkan pada prinsipprinsip kitab fiqih. pasal 1666 sampai dengan pasal 1693 KUH Perdata adalah tentang hibah mendekati persamaan dengan yang dibahas dalam kitab fiqih, kecuali dalam syarat-syarat tertentu ada perbedaan yang mendasar. Kalau diteruskan lagi mengkaji isi KUH Perdata dengan kitab fiqih, maka tentang penitipan barang dalam pasal 1729 KUH Perdata merupakan terjemahan bebas dalam kitab fikih tentang wadiah (penitipan barang) berdasarkan Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat (58) (Hasbullah bakry, 1985:9).Hibah dan Wiasiat dalam Islam Ketentuan tentang hukum hibah dan wasiat adalah berdasarkan dalil dalam Al-Qur'an dan hadits, sehingga semua Ulama fiqih sepakat (Ijma) tentang ditetakannya wasiat dan hibah. Ketentuan wasian dalam Al-Qur'an disebutkan antara lain dalam Surat Al-Baqoro ayat 180, An-Nisa ayat 12 dan ayat 58, sedangkan dalam Hadits adalah hadits Bukhiri Muslim. Ketentuan hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat Al-Maidah ayat 2, sedangkan hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Faktor yang paling dalam disyariatkan hibah dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat. Kalapun akan di bedakannya hanya waktu pelaknasaannya, yaitu hibah dilaksanakan semasa penghibah masih hidup, sedang wasiat dilaksanakan setelah pewasiat wafat. Dikatakan hibah dan wasiat pada asanya adalah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT karena arti harfiah dari 2 (dua) kata ini mendekati arti yang sama. wasiat artinya menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan menyambung, memerintah, mewajibkan. Sedangkan hibah diartikan pemberian tanpa syarat tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu oleh mazhab Maliki hibah sama dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi'i adalah pemberian untuk menghormati atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud mengharapkan pahala dari Allah SWT. Menurut mazhab Syafi'i hibah mengandung dua pengertian, yaitu pengertian umum dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah dan sedekah dan pengertian khusus yang disebut hibah apabila pemberian tersebut tidak bermaksud menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridho Allah SWT. Jika pemberian(hadiah) tersebut bermaksud menghormati atau memuliakan yang diberi disebut hadiah, jika pemberian mengharapkan ridho Allah SWT atau menolong untuk menutupi kesusahannya disebut sedekah. Hibah dan wasiat dilihat dari Hikmatu Al-Tasyri (Filsafat Hukum Islam) adalah untuk memenuhi hasrat berbuat bagi umat islam yang beriman kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177). Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab). Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, S syari'at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak. Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan Pengadilan Agama Majalengka perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti. Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat behubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidakmemiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi (stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori hukum Islam. Hibah dan wasiat yang diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214). Ketentuan wasiat yang diatur didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidakboleh dalam wasiat. Sedangkan ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal. Meskipun ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene merupakan transformasi dari ketentua syari'ah dan fiqih, namun karena jarang terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka dengan sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang ditentukan dalam KHI. lain halnya kalau dilihat dari pembahasan dalam kitab-kitab fiqih yang begitu detail dan antipatifnya pendapat Ulama Fiqih tentang kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul, sehingga lazim terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama fiqih dalam mengkaji setiap permasalahan yang terjadi. Hibah yang diatur dalam pasal 210 KHI dan fiqih dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3 harta benda dari harta benda yang merupakan hak penghibah, malah Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim menganjurkan sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta. yaitu pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk menjadi milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang dilaksanakan semasa hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu). Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi(tahaaduu tahaabuu). dalam KHI disyaratkan penghibah sudah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa paksaan yang sama maknanya dengan kajian fiqih, bahwa anak kecil dan wali tidak sah menghibahkan, karena belum cukup umur (ahliyatul ada'al-kamilah) dan bagi wali karena benda yang dihibahkan bukan miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab kabul, sedangkan dalam shadaqah dan hadiah tidak disyaratkan ijab kabul.

Dalam pasal 211 KHI disebutkan hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Maksud dapat diperhitungkan berarti harta yang dihibahkan dapat dijadikan bagian waris yang bagian waris sendiri dapat lebih kecil karena karena sudah mendapatkan hibah. Dalam fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan, yaitu hibah atau hibah wasiat dan waris. Pasal 212 KHI disebutkan hibah kepada anak dapat ditarik kembali. Ketentuan ini merupakan garis hukum islam berdasarkan hadits Rasulullah yang diwriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang pada intinya dapat dicabut secara sepihak, tetapi ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan apabila harta hibah sudah berganti tangan dalam bentuk benda lain. Oleh karena itu Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki anak atau masih bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi apabila sudah bercampur dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta orang lain tidak dapat dicabut kembali. pasal 213 KHI hibah yang diberikan pada pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematiannya harus mendapat persetujuan ahli warisnya.

Ketentuan ini menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan dasar istishhabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh menghibahkan hartanya.Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi wasiat (pasal 194 ayat (3) KHI). Ketentuan ini disepakati oleh Imam 4 mazdhab (Maliki,Hanafi,Hambali, dan Al-Syafi'i). Melaksanakan hibah hukumna sunnah dan hukum berwasiat menurut Imam emapt mazdhab pada asanya sunah berdasarkan kata yuridu (arab) dala hadits yang diriwayatkan Imam Maliki dari An-Nafi sebagai berikut :"Tidak ada hak bagi seorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai bermalam dua malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya". Para Imam empat mazdhab berpendapat bahwa berwasiat hendaknya sunah dengan alasan, karena tidak ada dalil yang menyatakan Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakanya. Namun demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh bahkan haram tergantung pada maksud dan
tujuannya.
1.Wajib apabila selama hidupnya belum melunasi kewajibannya terhadap Allah SWT, misalnya membayar kifarat, zakat atau haji maupun kewajiban terhadap manusia, misalnya hutang dan lainnya.
2.Sunah adalah berwasiat kepada kerabat yang tidak mendapat warisan.
3.Haram apabila berwasiat untuk hal-hal yang dilarang oleh agama.
4.Makruh apabaila yang berwasiat mengenai hal-hal yang dibenci agama.
5.Mubah apabila berwasiat untuk kaum kerabat atau orang lain yang berkecukupan Sehubungan wasiat wajib atau wasiat wajibah adala wasiat yang dianggap ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat wajibah merupakan lapangan kajian hukum. dasar hukum wasiat wjibah adala firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 180, sehingga para ulama setelah masa tabi'in seperti Sa'idbin Musayyab, hasan bashri, Thawus, Imam Ahmad bin Hamabal, daud Az-Zhahiri,Ibu jarir Al-Tobari Ishaq bin Rahawaih, Ibnu hazm dan lain-lain berdasarkan hal ayat tersebut berpendapat wajib untuk berwasiat kepada kerabat yang tidak berhak mendapat waris karena terhijab oleh ahli waris yang lainnya. Tersebut bersifat muhkam, yang tetap berlaku bagi kerabat yang tidak mendapat bagian waris.
Apabila seorang meninggal tanpa meninggalkan wasiat wajibah, Ibnu Hazm Cs membatasi hanya pada cucu sebanyak bagian ayah atau ibunya apabila keduanya masih hidupdan tidak boleh lebih dari 1/3 harta (Ibrahim Husen, 1985:24).
Sebagaimana yang diketahui dalam hukum waris bahwa menurut pendapat jumhur posisi cucu di hijab oleh anak pewaris sehingga cucu yang orang tuanya (ayah atau ibu) meninggal dunia dihijab oleh pamannya (saudara ayah atau ibu) sedangkan pendapat lain yang tidak mu'tamad, tetapi mencerminkan rasa keadilan berpendapat seseorang yang meninggalkan anak tidak putus hak kewarisan anak atas hak orang tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu dari orang tuannya, tetapi tetap tersambung meneruskan juarinnya (keturunannya). Tetapi berbeda ketentuannya antara wasiat wajibat dengan ahli waris pengganti (plaatsvervangend erfgenaam). Wasiat wajibah maksimal mendapat 1/3 bagian berdasarkan hadits Sa'ad bin Abi Waqqosh, bahkan menurut Ash-Shon'ani pengarang kitab Subulussalam para ulama sepakat membatasi wasiat 1/3. Kalaupun akan mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 harus seizin ahli waris. tanpa seizin ahli waris wasiat lebih dari 1/3 batal demi hukum. Sedangkan porsi atau hak yang diperolehpada ahli waris pengganti tergantu pada posisi ahli waris yang diganti, mungkin pada posisi mendapat bagian lebih banyak atau pada posisi mendapat bagian lebih sedikit. Tetapi apabila memperhatikan ketentuan ahli waris pengganti dengan wasiat wajibah diukur dari rasa keadilan, maka menggunakan dasar ahli waris pengganti lebih adil dari pada berdasarkan berdasarkan wasiat wajibah. Tidak adil dirasakan dalam ketentuan fiqih, bahwa paman menghijab anak saudaranya yang mininggal lebih dahulu, padahal andaikan dia masih hidup tentu posisinya sama dengan saudaranya itu (paman dari anak-anaknya). Dengan dasar rasa keadilan sebagai jalan mewujudkan keadilan inilah ketentuan ahli waris pengganti yang bersifat ijtihadiyah menjadi ketentuan kewarisan yang diatur dalam pasal 185 KHI.Pelaksanaan Putusan Peradilan AgamaPemberian harta melalui hibah dan wasiat, baik kepada ahli waris maupun kerabat dan orang lain dapat melindungi hak yang bersangkutan dari ahli waris yang lain. Misalnya seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan mempunyai anak keturunan. Kemudian suami kawin lagi dengan perempuan lain (istri yang kedua) dan mempunyai anak. dalam kasus ini apabila suaminya meninggal tentu ada hak waris anak dari istri yang telah bercerai dengannya,sedangkan anaknya tersebut sebelumnya telah diberi harta ketika bercerai dari ibunya. Agar anak dari istri yang keduanya terlindungi dari pembagian waris yang akan mengurangi jumlah bagiannya (karena anak dari istri yang diceraikan masih berhak atas harta peninggalan ayahnya), maka melaui hibah ini suami dapat menghibahkan hartanya kepada anak dari istri yang keduanya tersebut, sehingga dengan demikian anak tersebut mendapat perlehan memadai. Selain dari itu sering terjadi dalam perkara perceraian, suami istri menghibahkan harta bersama misalna tanah berikut bangunan rumah diatasnya kepada salah satu pihak dari suami atau istri atau kepada anak-anaknya.

Putusan Pengadilan Agama tentang hibah tersebut tentu perlu ditindaklanjuti oleh para pejabat yang diberi wewenang atau instansiterkait dengan persoalan benda tidak bergerak. Tetapi putusan ini sayangnya tidak serta merta dapat dilaksanakan, mengapa? Karena apabila akan dilakukan balik nama terhadap benda yang dihibahkan berdasarkan putusan Pengadilan Agama tersebut masih harus mensyaratkan menyertakan pihak penerima hibah dan pemberi hibah serta syarat-syarat administratif lainnya, misalnya KTP atau surat kuasa, karena pejabat atau instansi yang berangkutan terikat pada Peraturan Perundang-undangan tentang pertanahan atau hukum perjanjian. Kalau dikaji lebih lanjut penyelesaian perkara di Peradilan Agama dengan menggunakan hukum acara yang berlaku berdasarkan Pasal 54 UUPA sesungguhnya banyak tidak relevan dengan kaakteristik perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama.
Salah satu contoh yang tidak relevan adalah ketentuan eksekusi yang diatur dalam HIR atau Rbg, karena ketentuan eksekusi yang diatur dalam HIR atau Rgb adalah menyangkut perkara sengketa milik, hutang piutang dan ganti rugi adalah dengan lelang, sdangkan perkara yang diselesaikan oleh Peradilan Agama sama sekali tidak menyentuh perkara sengketa milik, hutang piutang dan ganti rugi. Pelaksanaan putusan Pengadilan Agama dengan memperhatikan ciri-ciri eksekusi lelang, sesungguhnya tidak perlu dengan lelang dan memang tidak melalui lelang, tetapi putusan Pengadilan Agama ditindaklanjuti oleh instansi yang terkait dengan pokok perkara yang diputuskan oleh Pengadilan Agama. masalahnya belum ada peraturan perundang-undangan atau setidak-tidaknya perlu SKB antara Mahkamah Agung RI sebagai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan merupakan Pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan (UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman) dengan lembaga atau instansi pemerintah untuk menindaklanjuti putusan-putusan Pengadilan Agama. Putusan pengadilan deklarator, konstitutif maupun kondemnator pada asasnya melahirkan hukum baru terhadap peristiwa hukuhm yang diputuskan. Oleh karena itu mestinya dengan putusan Pengadilan Agama dalam perkara yang terkait dengan hibah atau harta kekayaan lainnya, instansi yang bersangkutan atau pejabat yang menangani harta kekayaan, misalnya Notaris, PPAT atau BPN terikat isi putusan pengadilan in casu Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain. Apabila putusan Pengadilan Agama dalam perkara hibah ini tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain, maka dapat saja yang bersangkutan mempersulit atau mengingkari putusan tersebut, bahkan mengesampingkan putusan. Allahu A'lamu-showab.

ISTILAH PEWARISAN

ADA BEBERAPA ISTILAH PEWARISAN

1. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda untuk dibagikan kepada yang berhak (Ahli Waris)
2. Ahli Waris adalah orang-orang yang (berhak) menerima warisan dari pewaris. Ada ahli waris menurut ketentuan undang-undang disebut ahli waris dibawah title umum (secara obintestanto), ada ahli waris yang ditunjuk dengan surat wasiat/testament disebut ahli waris dibawah title khusus (ahli waris testamentair).
3. Warisan (harta warisan) adalah semua peninggalan pewaris yang berupa hak dan kewajiban dibidang materil atau semua harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia setelah dikurangi semua utangnya.
4. Boedel adalah warisan yang berupa kekayaan saja, dan Yang perlu segera dikeluarkan dari harta orang meninggal dunia antara lain ialah :
· Biaya pengurusan mayat
· Dibayarkan utangnya
· Dilaksanakan wasiatnya/hibah wasiatnya
· Dalam hokum waris islam diambil zakatnya/sewanya
· Sisanya adalah harta warisan
Umumnya biaya pengurusan mayat ditanggung oleh pihak keluarganya.
5. Wasiat adalah suatu putusan dari seseorang (biasanya dituangkan dalam suatu akta) yang harus dilaksanakan setelah ia meninggal dunia. Wasiat karena perbuatan sepihak dapat ditarik kembali. Dan orang yang menerima wasiat disebut ahli wasiat.
6. Hibah wasiat (legaat) adalah suatu penetapan yang khusus didalam suatu testament (surat wasiat) dimana seseorang memberikan sebagian hartanya kepada orang tertentu yang berlaku setelah ia meninggal dunia. Orang yang menerima hibah wasiat (legaat) disebut “legetaris”.
Menurut ketentuan hibah wasiat tidak boleh melebihi 1/3 dari harta warisan. Biasanya ada orang yang ditunjuk, untuk melaksanakan wasiat itu, namun apabila tidak ada orang yang ditunjuk, maka warisan itu harus dianggap menunjuk semua ahli waris
7. Legitime partie adalah bagian mutlak yaitu bagian dari harta peninggalan yang tidak dapat dikurangi dengan testament dan pemberian lainnya oleh pewaris. Ahli waris yang berhak atas bagian ini disebut “legitimaris” yaitu para ahli waris dengan garis lurus menurut undang-undang.

Warisan Terbuka
Apabila ada seseorang meninggal dunia, maka pada saat itu disebut warisan terbuka. Sejak saat itu harta warisan beralih kepada ahli waris/para ahli waris menjadi pemilikan bersama. Pemilikan bersama berarti tidak mungkin harta tersebut dialihkan kepada orang lain tanpa kerjasama seluruh ahli waris. Satu orang tidak turut serta dalam pemindahan hak tersebut, maka perbuatan tersebut menjadi batal.
Orang yang dapat memperoleh warisan ialah para ahli waris yang pada ketika itu masih hidup. Anak yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan dan apabila meninggal dunia sebelum atau sewaktu dilahirkan maka dianggap tidak pernah ada.
Menurut hokum islam, warisan harus dibagi dalam waktu singkat dan dianjurkan dalam waktu 40 hari. Prinsipnya warisan harus dibagi sebelum ada ahli waris lain yang meninggal. Hal ini semata-mata jangan ada ahli waris yang tanpa hak memakan warisan yang belum dibagi. Bila ada anak yang masih dalam kandung, pembagian warisan ditunggu sampai anak itu lahir, untuk mengetahui jenis kelaminnya.

Hukum Waris Di Indonesia
Hukum waris termasuk ruang lingkup hokum perdata dan lebih kecil lagi termasuk ruang lingkup hokum keluarga. Hukum waris adalah hokum yang mengatur tentang kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibatnya bagi para ahli warisnya.
Ada 3 (tiga) macam hak waris yang berlaku di Indonesia, yaitu:
1) Hukum Waris Adat
Berlaku untuk orang Indonesia asli, baik yang beragama Islam maupun non Islam. Menurut Mr. B Ter Haar Bzn dalam bukunya Asas-asas dan susunan hukum adat, hokum waris adapt itu meliputi aturan-aturan hokum yang bertalian dengan proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil dan immaterial dari turunan keturunan.
2) Hukum Waris Islam
Berlaku bagi orang yang memeluk agama Islam. Dalam bahasa Arab disebut faroidh yang berarti pembagian harta pusaka yaitu harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia. Mengenai harta pusaka (harta warisan), siapa-siapa yang berhak atas harta warisan dan cara pembagiannya telah diatur dalam Al-Quran dan Hadist. Beberapa hak yang wajib didahulukan dalam pembagian harta peninggalan tersebut adalah :
· Ambil lebih dulu zakat dan sewanya
· Keluarkan biaya mengurus mayat
· Dibayarkan utangnya
· Laksanakan wasiat/hibah wasiatnya (tidak lebih dari 1/3 harta peninggalan)
· Sisanya setelah dibayar semua hak tersebut, dibagi kepada semua ahli waris menurut ketentuan.
3) Hukum Waris Adat Barat
Yang tunduk pada hokum waris barat adalah orang-orang keturunan Eropa dan keturunan Tionghoa/Cina. Hukum waris barat diatur dalam KUHPerdata buku II BAB XVIII, dan hokum waris dianggap sebagai hak kebendaan. Oleh para sarjana hokum waris itu didefinisikan sebagai serangkaian peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang, mengenai akibat hokum dari harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, peralihan kekayaan yang ditinggalkan dan akibat-akibat dari orang yang memperoleh dalam hubungannya antara mereka sendiri dan juga terhadap pihak ketiga.

Surat Keterangan Waris
Siapa ahli waris yang berhak atas warisan tersebut, harus dibuktikan dengan surat keterangan waris yang dibuat atau dikeluakan olah Pejabat/Instansi yang berwenang.
1. Untuk orang Indonesia asli, surat keterangan waris dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah/Kepala Kampung diketahui oleh Camat setempat bedasarkan keterangan para ahli waris. Di Kota Bandung, surat keterangan waris dikeluarkan oleh Walikota, berdasarkan surat keterangan Lurah diketahui Camat. Sedangkan di kota Medan dikeluarkan oleh Camat berdasarkan surat keterangan Kepala Kampung. Adapun surat keterangan waris yang dikeluarkan oleh Mahkamah Syariah/Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri berupa putusan Pengadilan/Penetapan Hakim/Ketua Pengadilan.
2. Untuk orang-orang keturunan Eropa,China dan Jepang surat keterangan waris dikeluarkan oleh Notaris atau oleh Pengadilan Negeri.
3. Untuk orang India, Arab dan Timur Asing lain, surat keterangan warisan dikeluarkan oleh Balai Harta Peninggalan.
Kelengkapan Persyaratan Pendaftaran Peralihan Hak Karena Pewarisan
Dalam hal pewarisan tanpa wasiat :
1) Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh ahli waris atau kuasanya.
2) Sertifikat hak atas tanah atau sertifikat hak milik atas satuan rumah susun atas nama pewaris, atau apabila mengenai tanah yang belum terdaftar, bukti pemilikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997.
3) Surat kematian atas nama pemegang hak yang tercantum dalam sertifikat yang bersangkutan dari Kepala Desa/Lurah tempat tinggal pewaris waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan, atau instansi lain yang berwenang.
4) Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa :
a. Wasiat dari pewaris, atau
b. Putusan Pengadilan, atau
c. Penetapan Hakim/Ketua Pengadilan, atau
d. - Bagi warga Negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia.
- Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa, akta keterangan hak mewaris dari Notaris.
- Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Timur Asing lainnya : Surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.
5) Surat kuasa tertulis dari ahli waris apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan ahli waris yang bersangkutan.
6) Bukti identitas ahli waris
7) Apabila pada waktu permohonan pendaftaran peralihan hak diajukan sudah ada putusan pengadilan atau penetapan Hakim/Ketua Pengadilan atau Akta mengenai pembagian waris, juga harus dilampirkan.
Catatan :
1) Akta pembagian waris, dapat dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan oleh semua ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi atau dengan akta Notaris;
2) Apabila ahli waris lebih dari 1 (satu) orang dan belum ada pembagian waris, maka didaftar sebagai harta berama dan pembagian hak selanjutnya dilakukan dengan Akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).
Dalam hal pewarisan disertai dengan hibah wasiat :
A. Jika hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dihibahkan sudah tertentu, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan atas permohonan penerima hibah dengan melampirkan :
1) Sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun atas nama pewaris, atau apabila hak atas tanah yang dihibahkan belum terdaftar, bukti pemilik tanah atas nama pemberi hibah sebagimana dimaksud dalam pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,
2) Surat kematian pemberi hibah wasiat dari Kepala Desa/Lurah tempat tinggal pemberi wasiat tersebut waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan atau instansi lain yang berwenang,
3) Bukti berupa :
o Putusan Pengadilan atau Penetapan Hakim/Ketua Pengadilan mengenai pembagian harta waris yang memuat penunjukan hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan sebagai telah dihibah wasiatkan kepada pemohonan,
o Akta PPAT mengenai hibah yang dilakukan oleh Pelaksana Wasiat atas nama pemberi hibah wasiat sebagai pelaksanaan dari wasiat yang dikuasakan pelaksanaanya kepada Pelaksana Wasiat tersebut,
o Akta pemberian waris yang memuat penunjukan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan sebagai telah dihibah wasiatkan kepala pemohon.
4) Surat kuasa tertulis dari penerima hibah apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hibah,
5) Bukti identitas penerima hibah,
6) Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997
7) Bukti Pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang.
B. Jika Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dihibahkan belum tertentu, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan kepada para ahli waris dan penerima hibah wasiat sebagai harta bersama.

REFERENSI
Ali Affandi, SH. Prof, 2000. Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Subekti Raden, SH. Prof, 1995. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.

BICARA WARIS/HIBAH BUKAN HAL YANG TABU

Dalam keluarga Pak Ben timbul perseteruan setelah orang tua meninggal lima tahun yang lalu. Sejumlah ahli warisnya tidak beritikad baik dan membuat kasus ini mengambang di tingkat banding Pengadilan Tinggi. Lain lagi Keluarga Pak Baz punya masalah seputar hibah sejak setahun terakhir sejak sang bapak terbaring di rumah sakit. Awalnya keluarga tak mau memperkarakan masalah ini ke meja persidangan, tapi kedua anaknya bersitegang tentang hibah harta bapaknya, karena si bungsu merasa pernah ‘dijanjikan’ bagian harta yang lebih besar sementara surat hibah tidak pernah bisa ditunjukan yang bersangkutan sebagai bukti yang sah.Kedua ilustrasi diatas menjelaskan sekelumit dari begitu banyak kasus sengketa harta hibah dan waris. Keadaan ini mengetuk hati kami untuk setidaknya mengajak bicara soal ini sekarang. Kealpaan membuat rencana pembagian harta sejak dini berpotensi mengabaikan peluang membantu orang lain, merusak tali persaudaraan dan hubungan silaturahmi. Dalam kasus ekstrim bahkan menyebabkan kemiskinan di masyarakat kita.
Apa sih tujuan bagi harta sebenarnya? Orang merencanakan pembagian harta agar dapat menopang kelangsungan hidup keturunannya atau pihak lain yang yang ditunjuk si pemilik harta sebagai penerima manfaat nantinya. Pembagian ini dilakukan dengan memindahtangankan aset. Sejumlah cara ditempuh orang dalam mentransfer aset, melalui hibah saat yang bersangkutan masih hidup (lewat surat pernyataan hibah) ataupun waris saat yang bersangkutan telah meninggal (dengan atau tanpa surat wasiat).Kapan pembagian harta dan dan bagaimana cara terbaik perencanaannya? “Nanti aja lah pas udah bau tanah”, ujar sebagian orang...apa benar demikian?...ahemm...guess again! Semakin cepat direncanakan semakin baik, karena tidak ada yang akan pernah tahu apa yang akan terjadi hari esok. Jadi, menurut hemat kami tujuan mulia dari membagi harta adalah bagaimana kelangsungan hidup mereka yang kita kasihi bisa terjaga dan perdamaian bisa terpelihara. Caranya? Dibawah ini kami sampaikan sejumlah langkah yang dapat Anda pertimbangkan. Tentang bagi harta waris, langkah pemindahtanganan aset saat pemberi waris telah meninggal dunia dapat saja tunduk pada hukum waris perdata, adat, atau Islam, sesuai sistem nilai yang dianut. Caranya misalnya dengan membuat “surat wasiat” (testamentair) sebelum pemberi waris meninggal. Surat wasiat adalah dokumentasi hukum yang melindungi seseorang memberikan asetnya saat yang bersangkutan tiada, berisikan pernyataan tentang apa saja yang dikehendakinya setelah ia meninggal, dimana wasiat dibuat dan disahkan dihadapan notaris. Tanpa surat wasiat yang sah (absentantio) pemerintah berdasarkan Undang-Undang akan menentukan kemana aset tersebut didistribusikan, umumnya dihubungkan dengan aspek persaudaraan pemberi waris sebelum meninggal, misalnya anak, istri atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek.Teknisnya jika pewaris tidak membuat surat wasiat maka para ahli waris harus meminta “surat keterangan waris” ke Pengadilan Negeri ataupun “surat fatwa waris” ke Pengadilan Agama khusus umat muslim. Bermodalkan surat yang menyatakan siapa saja yang sah dan resmi menjadi ahli waris tersebut diatas, ahli waris mengurus “surat keterangan kematian” di kantor kelurahan/kecamatan setempat untuk digunakan sebagai dokumen pelengkap pengurusan harta waris dari pemberi waris yang telah tiada. Jika diantara para ahli waris disepakati bersama pembagian warisan, maka kesepakatan tersebut wajib dibuat di hadapan notaris. Jika salah satu pembagian yang disepakati adalah harta tanah, maka penerima manfaat harus mendaftarkannya di kantor pertanahan setempat dengan melampirkan surat kematian, surat keterangan waris atau fatwa waris, dan surat wasiat atau akta pembagian waris jika ada.Sementara itu, untuk teknis melakukan hibah perlu disusun “akta hibah” diatas kertas bermaterai, yang ditandatangani calon penerima hibah, penghibah serta saksi-saksi di hadapan notaris. Penerima manfaat kemudian membuat “surat kepemilikan”, misalnya jika harta berupa tanah dapat dibuatkan surat balik nama dan sertifikat hak milik, atau jika harta berupa kendaraan dibuat surat balik nama dan bukti kepemilikan kendaraan bermotor/surat tanda nomor kendaraan. Kemudian hal tersebut disempurnakan dengan realisasi penyerahan harta kepada penerima hibah.Setelah aspek hukum dibahas, apakah sudah cukup? Tentu tidak, aspek keuangan sekarang jadi fokus berikutnya. Khusus waris, Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 17 Tahun 2000 pasal 4 ayat (3) huruf b mengecualikan warisan sebagai obyek pajak karena bukan kegiatan bisnis, walaupun warisan termasuk penghasilan bagi ahli waris. Berdasarkan UU PPh No. 17 Tahun 2000 pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 perlakuan yang sama juga diterapkan pada hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.Sementara itu menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) No. 18 Tahun 2000 pasal 4A pada prakteknya Barang Kena Pajak (BKP) adalah semua barang adalah barang kena pajak kecuali yang dikecualikan, artinya hanya barang-barang yang disebutkan di Peraturan Pemerintah sajalah yang bukan objek pajak. Pertanyaannya, apakah waris/hibah aset tersebut termasuk BKP? Penyerahan aset yang menjadi objek PPN adalah penyerahan yang dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya, jadi waris/hibah jelas bukan penyerahan sebagaimana dimaksud UU PPN.Namun, sesuai dengan Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) No. 20 Tahun 2000 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 86/PMk.03/2006 warisan/hibah bisa kena pajak terutama jika hibah/waris yang diterima berupa harta tanah dan atau bangunan dengan nilai diatas Rp300juta. Karena harta waris atau hibah properti bernilai lebih dari Rp300juta, penerima hibah atau ahli waris harus membayar BPHTB dengan tarif pajak 5% saat ganti nama dilakukan. Setelah cerita diatas, morale of the story apa yah? Betapa rencana bagi harta sangatlah perlu dibuat sejak dini dan dipelajari serta dikonsultasikan kepada pihak ketiga sebagai narasumber. Aspek dokumentasi dan penjelasan atas pembagian harta sangat penting guna menjamin hak penerima manfaat secara hukum dan menghindari konflik dikemudian hari.Khususnya untuk pembagian waris, ahli waris harus menyelesaikan dahulu hutang-piutang yang ditinggalkan pewaris semasa hidupnya. Kemudian aspek optimisasi keuangan juga penting, dimana harta yang akan dialihkan tersebut sudah aman alias bersih dari hutang serta memilih cara teknis hibah/waris yang bisa menekan potensi biaya pajak penerima hibah atau ahli Waris.

HARTA WARISAN

PEMBAGIAN HARTA WARIS

Bolehkah Memberi Harta Warisan Sekedarnya Kepada Kerabat, Anak Yatim dan Orang Miskin?
Allah swt. berfirman, “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (Surat 4. AN-NISAA' - Ayat 8).

Sebagaimana kita ketahui, yang berhak untuk mendapatkan bagian waris hanya orang tertentu saja, sedangkan kerabat lainnya terhalang untuk mendapatkan waris. Namun, walaupun kerabat lainnya itu terhalang, jika mereka hadir dalam acara pembagian harta warisan itu, sangat dianjurkan agar merekapun diberi bagian tertentu dari warisan yang ada, dengan jumlah sekedarnya, yang telah disepakati dahulu oleh orang-orang yang berhak mendapatkan warisan. Begitu pula, jika dalam acara pembagian tersebut hadir anak yatim dan orang miskin, hendaknya mereka diberi juga, sekedar untuk menyenangkan hati dan meringankan beban mereka. Apakah kita akan tega, jika mereka semua melihat pembagian harta warisan itu, sedangkan mereka tidak diberi sedikitpun dari harta warisan yang ada?

Di dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an nya Sayyid Quthb disebutkan, “Mengenai ayat ini (ayat 8 surat an-Nisaa’) terdapat beberapa riwayat yang berbeda-beda dari para salaf. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh (dihapus) oleh ayat-ayat kewarisan yang menentukan batas-batas bagian tertentu untuk ahli waris (yakni ayat 11, 12 dan 176 surat an-Nisaa’). Ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini muhkamat (berlaku hukumnya, tidak terhapus). Diantaranya lagi ada yang mengatakan bahwa petunjuk ayat ini adalah wajib, dan sebagiannya lagi berpendapat mustahab, untuk menyenangkan hati ahli waris. Akan tetapi, kami melihatnya muhkamat dan menunjukan hukum wajib (memberi bagian kepada ulul-qurba, kerabat yang bukan ahli waris), dalam kondisi-kondisi seperti yang kami sebutkan. Karena, melihat kemutlakan nashnya dari satu sisi, dan melihat pengarahan Islam yang bersifat umum tentang tanggung jawab sosial dari sisi lain. Hal ini merupakan urusan lain diluar bagian-bagian ahli waris yang sudah ditentukan besar kecilnya dalam ayat-ayat berikut dalam kondisi apapun.”

Lalu bagaimanakah jika ada kerabat yang tidak hadir dalam acara pembagian warisan itu, namun sebenarnya kerabat tersebut adalah orang miskin yang memerlukan pertolongan harta? Di dalam kitab Fatwa-fatwa Mutakhir, halaman 637-642, dengan penerbit Yayasan Al-Hamidiy, beberapa anak yang ditinggal mati ayah dan kakeknya, menyampaikan isi hatinya kepada Dr.Yusuf Al-Qardhawi yang kemudian dijawab oleh beliau.

Berikut ini adalah curahan hati anak-anak yang ditinggal mati ayahnya dalam keadaan kakeknya masih hidup: “Kepada Ustadz (Dr.Yusuf Al-Qardhawi) kami kemukakan suatu kesulitan dengan harapan akan menemukan pemecahannya dari Ustadz. Kami tiga orang bersaudara, yang terbesar berusia empat belas tahun. Ayah kami meninggal dunia dalam keadaan ayahnya (kakek) masih hidup. Beberapa lama kemudian kakek kami itupun meninggal dunia. Para paman kami (saudara-saudara lelaki ayah kami) melaksanakan pembagian harta waris peninggalan kakek. Mereka sama sekali tidak memberikan bagian kepada kami. Mereka mengatakan: Seorang anak lelaki jika ia meninggal dunia dalam keadaan ayahnya masih hidup, anak-anaknya yang ditinggal mati itu tidak berhak menerima bagian dari harta peninggalan kakek yang meninggal kemudian. Ini merupakan hukum syara’. Atas dasar itulah kami tidak memperoleh sedikitpun bagian dari harta yang ditinggal oleh kakek kami, sedangkan paman-paman kami berbagi harta waris demikian lahap. Padahal mereka itu orang-orang kaya, sedangkan kami anak-anak yatim, lagi miskin. Ibu kami yang malang itu terpaksa membanting tenaga dan memeras keringat mencari nafkah untuk membiayai penghidupan kami hingga kami besar dan dapat bersekolah. Tidak seorang pun dari paman-paman kami membantu dan turut membiayai kami. Apakah yang mereka katakan itu benar? Yaitu bahwa hukum syara’ tidak memberi hak kepada kami untuk mendapat dari harta peninggalan kakek kami? Bukankah kami ini ini anak-anak keturunan dan anak lelakinya (cucu-cucunya). Akibat dari ketentuan itu hanya ibu kami sendiri yang memikul beban membiayai penghidupan kami. Kami mengharap jawaban secukupnya disertai penjelasan untuk memecahkan persoalannya menurut ketentuan hukum syara’.”

Berikut ini akan saya kutip secara singkat jawaban dari Dr.Yusuf Al-Qardhawi:

Itu merupakan problem bagi seorang anak lelaki yang wafat dalam keadaan ayahnya masih hidup, dan meninggalkan anak-anak keturunan. Pada waktu kakek mereka meninggal dunia para paman dan para bibi mereka berbagi waris, sedangkan anak-anak yang mati ayahnya (kemanakan-kemanakan mereka atau cucu-cucu kakeknya) tidak mendapat bagian sama sekali.

Menurut kenyataan, dipandang dari sudut hukum waris itu memang benar, yaitu bahwa cucu tidak turut mewarisi harta peninggalan kakeknya selagi anak-anak lelaki kakeknya itu masih ada. Sebab hukum waris ditetapkan atas dasar kaidah-kaidah tertentu, antara lain adalah: Orang yang peringkat hubungan kekeluargaannya terdekat dengan pihak yang meninggal dunia, ia akan menyekat (meng-hijab) peringkat hubungan kekeluargaannya yang lebih jauh dari orang yang meninggal dunia. Dalam hal seorang ayah wafat meninggalkan beberapa orang anak lelaki dan sejumlah cucu, maka yang berhak mewarisi harta peninggalan orang yang wafat itu adalah anak-anak lelakinya, sedangkan cucunya tidak berhak turut mewarisinya. Sebab, anak peringkat hubungan kekeluargaan dengan ayah mereka lebih dekat daripada cucu. Antara ayah dan anak hanya ada satu peringkat, sedangkan antara kakek dan cucu terdapat dua peringkat, yakni ada perantara, yaitu ayah. Dalam hal demikian itu, maka cucu tidak mempunyai hak waris atas harta peninggalan kakeknya.

Akan tetapi apakah itu berarti cucu-cucu yang ditinggal mati kakek mereka itu sudah terjauhkan sama sekali dari hak waris, sehingga mereka tidak akan dapat menerima bagian sedikit pun? Problem itulah yang diatasi oleh hukum syara' dengan beberapa cara:

Cara pertama:
Sebelum wafat, kakek wajib mewasiatkan sebagian hartanya (yang tidak melebihi sepertiga harta miliknya) untuk cucu-cucu yang ditinggal wafat ayah mereka. Wasiat demikian, menurut sebagian ulama salaf, merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Mereka berpendapat, bahwa wasiat merupakan suatu kewajiban (fardhu) yang tidak boleh diabaikan, dan harus diberikan kepada sejumlah kerabat, kepada pihak-pihak yang mengamalkan kebajikan, khususnya jika mereka itu tergolong kerabat dekat yang tidak mendapatkan hak waris. Wasiat harus diberikan atas dasar syarat, bahwa yang diberi wasiat bukan orang yang mempunyai hak waris. Mengenai itu Rasulullah s.a.w. telah menjelaskan: "Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak apa yang menjadi haknya. Karenanya tiada wasiat untuk seorang ahli waris."

Cara kedua:
Sebagaimana telah disadari oleh hukum syara’, dirasa masih perlu diberikan cara pemecahan lain untuk mengatasi problem seperti yang ditanyakan. Yaitu pada saat para paman anak-anak yatim itu sedang membagi harta peninggalan ayah mereka yang telah wafat, hendaknya memberikan sebagian, walau sedikit, harta peninggalan itu kepada kemanakan-kemanakan mereka yang tidak berayah lagi. Demikianlah yang ditentukan dalam Al-Qur'an sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an: "Dan jika pada waktu pembagian itu hadir kerabat (yang tidak mempunyai hak waris), anak-anak yatim dan orang-orang miskin; berilah mereka sebagian dari harta (peninggalan) itu dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada mereka." (S. An-Nisa: 8).

Kita dapat membayangkan bagaimanakah kiranya jika pada waktu pembagian harta peninggalan itu mereka datang dan melihat sendiri berapa banyak masing-masing menerima bagian, sedangkan mereka tidak diberi sama sekali? Ayat suci tersebut mendahulukan kerabat, sebab mereka itu memang berhak, apalagi anak-anak yatim kemanakan sendiri, anak-anak keturunan saudara mereka sendiri juga! Karena itu wajarlah jika paman-paman mereka diwajibkan memberi kepada mereka jumlah yang disetujui bersama yang kiranya dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan, terutama sekali jika harta peninggalan cukup besar dan banyak.

Jika kakek itu sendiri sebelum wafat lupa atau kurang memperhatikan nasib cucu-cucunya yang malang, maka paman-paman mereka lah yang seharusnya tidak sampai melupakan kewajiban mengulurkan tangan mereka, sebab mereka adalah kerabat terdekat.

Cara ketiga:
Sebagaimana yang ditetapkan dalam hukum syara', yakni perundang-undangan tentang pemberian nafkah menurut Islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam dari agama-agama yang lain ialah, Islam mewajibkan orang yamg hidup berkecukupan menolong kerabatnya yang hidup serba kekurangan, terutama sekali jika kedua belah pihak itu berhak saling mewarisi (yakni: yang satu merupakan ahli waris bagi yang lain secara timbal balik). Demikianlah menurut madzhab Hambali. Begitu pula jika yang satu merupakan muhrim bagi yang lain, demikian menurut madzhab Hanafi, seperti kemanakan misalnya.

Dalam hal-hal seperti itu maka memberi nafkah menjadi kewajiban pihak yang berkecukupan, kepada pihak yang serba kekurangan dan hidup menderita. Demikian yang akan diputuskan oleh Makamah Islam apabila problem seperti itu diajukan sebagai gugatan.

Islam tidak membiarkan seorang paman hidup berkecukupan mempunyai harta kekayaan, sedangkan kemanakan-kemanakan nya tidak mempunyai apa-apa dan dibiarkan begitu saja tanpa bartuan. Ibu mereka yang malang itu pun dibiarkan memeras keringat dan membanting tulang, sedangkan ia sendiri (paman itu) kaya dan hidup serba cukup. Itu tidak boleh terjadi menurut syariat Islam. Itulah antara lain yang membedakan Islam dari agama lain.

Bagaimanakah Cara Membagi Harta Bawaan dan Harta Bersama Antara Suami Dan Istri?
Harta bawaan adalah harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan isteri sebelum menikah, termasuk didalamnya hadiah, hibah serta warisan yang diterima dari pihak kerabatnya. Sedangkan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan isteri selama perkawinan, termasuk pula didalamnya hadiah, hibah serta warisan yang diterima dari pihak kerabatnya.

Islam sangat ketat dalam menentukan kepemilikan harta. Haram hukumnya mengambil harta orang lain tanpa seizinnya. Firman Allah, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Surat 2. AL BAQARAH - Ayat 188)

Karena itu, dalam membagi harta bawaan maupun harta bersama, harus diperhatikan agar batas-batas kepemilikian harta tersebut diatur terlebih dahulu, bahwa harta suami ada berapa dan harta istri ada berapa. Tidak boleh digabungkan kemudian dibagi warisannya secara sepihak.

Walaupun harta tersebut sudah didaftarkan atas nama suami atau atas nama istri, namun secara hakikat harta bersama memiliki kepemilikan yang terpisah. Jika dalam membeli sebuah rumah senilai 100 juta rupiah atas nama suami, dimana suami mengeluarkan 60 juta dan istri 40 juta, maka nilai kepemilikannya adalah, suami 60% dan istri 40%. Sampai kapanpun akan tetap demikian, walaupun kelak rumah tersebut akan bernilai tinggi, misalnya menjadi 1 milyar rupiah. Maka dalam hal ini suami menjadi memiliki saham 600 juta dan istri 400 juta. Dengan demikian, jika salah seorang dari suami atau istri meninggal, ia hanya boleh mewariskan harta miliknya saja. Jika ada hukum yang menetapkan bahwa harta bersama harus dibagi secara seimbang/sama-rata antara suami dan isteri (masing-masing 50%), walaupun mereka berpisah sebagai akibat dari perceraian atau kematian, maka hukum ini sangat bertentangan dengan hukum syariat Islam yang sangat menjaga kepemilikan harta antara suami dan istri, dan hukum ini tidak boleh diikuti oleh kita yang beragama Islam.

Permasalahannya adalah, tidak semua suami dan istri menghitung secara cermat harta miliknya sebelum dan selama perkawinan. Untuk melihat slip gaji dari pertama kali bekerja hingga sekarang pun tidak mudah, karena bisa jadi ia sudah beberapa kali berpindah-pindah kerja, dan bisa jadi slip gaji tersebut sudah tidak ada (hilang). Selain itu, selama pernikahan pasti ada pengeluaran lain yang tidak termasuk harta waris.

Penghasilan suami setiap bulan selalu dikurangi dengan biaya nafkah kepada istri dan anak, sedangkan istri tidak dikurangi dengan biaya nafkah, karena kewajiban memberi nafkah hanya ada pada suami. Karena itu, perlu ada sikap bijaksana antara suami dan istri. Bermusyawarah, berdiskusi dengan hati saling jujur, kemudian tentukan bagian harta suami dan istri saat ini dengan sama-sama ridho antara kedua belah pihak.

Sebenarnya cara yang terbaik adalah dengan mencatat setiap harta yang masuk dan keluar selama pernikahan, jadi akan jelas harta suami saat ini ada berapa, dan harta istri ada berapa. Namun jika tidak memungkinkan, kedua belah pihak harus saling sama-sama jujur dalam bermusyawarah dalam membagi harta masing-masing. Kedua belah pihak diharapkan sama-sama ridho dalam hal menerima hasil pembagian yang sudah disepakati bersama.

Apakah Anak Susuan Berhak Mendapat Warisan?
Anak susuan tidak berhak mendapatkan warisan dari ibu susuannya atau saudara sesusuan, kecuali jika ia termasuk kerabatnya yang memang berhak untuk mendapatkan warisan.

Apakah Ibu Tiri, Ayah Tiri dan Anak Tiri Berhak Mendapat Warisan?
Salah satu faktor bahwa seseorang berhak mendapatkan warisan adalah karena adanya ikatan pernikahan dan ikatan darah (kekerabatan). Karena itu, ibu tiri, ayah tiri dan anak tiri tidak mendapatkan warisan seandainya kita meninggal. Mereka hanya bisa mendapatkan harta melalui jual beli, hibah dan wasiat.

Apakah Istri yang Sudah Ditalak Mendapatkan Waris?
Sebelum membahas hal ini, harap diketahui dahulu bahwa talak itu sendiri ada yang berstatus raj’i (sewaktu-waktu bisa kembali) dan talak ba'in (tidak dapat kembali lagi). Selain itu, ada juga kondisi talak dalam keadaan sehat, dan talak dalam keadaan sakit keras.

Talak raj’i adalah suami yang mentalak istrinya dalam suatu pernikahan yang sah, baik yang sudah digauli atau belum, yang kurang dari tiga kali talak, dengan tanpa membayar mas kawin baru. Masa penungguan tersebut disebut juga masa ‘iddah raj’i. Talak raj’i tidak menjadi penghalang bagi suami istri untuk saling mewarisi, baik seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan sehat maupun sakit. Dengan demikian, hak suami-istri untuk saling mewarisi tidak hilang. Jadi, bila suami meninggal dunia, dengan meninggalkan istrinya yang sedang dalam masa ‘iddah raj’i, maka istrinya masih dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami dapat mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal dunia sebelum masa ‘iddah raj’i-nya berakhir. Para ulama tidak ada yang menyelisihi pendapat ini.

Adapun jika talaknya adalah talak ba'in (tidak dapat kembali) dan jatuh di saat penalaknya dalam keadaan sehat, talak semacam ini dapat menghalangi hak waris-mewarisi. Dengan demikian, istri yang ditalak oleh suaminya, pada kondisi seperti ini, tidak dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, menurut kesepakatan para ulama. Hak itu karena putusnya ikatan perkawinan sejak talak dijatuhkan. Demikian pula suami, tidak dapat mewarisi harta peninggalan istri, bila istri meninggal dunia dalam kondisi seperti ini, karena sebab yang sama, yakni putusnya tali perkawinan, sehingga hak waris-mewarisi menjadi hilang.

Jika talaknya ba'in dan jatuh di saat penalaknya dalam keadaan sakit keras, di mana dia tidak bermaksud menghilangkan hak mewarisi istrinya, maka mereka juga tidak dapat saling waris mewarisi. Misalnya jika istri meminta khulu', kemudian suaminya mengabulkan, atau bila istri meminta talak tiga, kemudian suaminya mengabulkan permintaan tersebut. Para ulama sepakat, dalam kondisi yang demikian, tidak dapat saling mewarisi karena suami tidak bermaksud menghilangkan hak mewarisi istrinya.

Jika talaknya adalah ba'in dan jatuh di saat penalaknya dalam keadaan sakit keras, di mana dia bermaksud menghilangkan hak mewarisi istrinya terhadap harta peninggalan, dalam hal ini terdapat empat pendapat ulama, yaitu sebagai berikut.

1. Istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan suami secara mutlak karena sebelum kematian suami, talaknya sudah ba'in, sehingga hak mewarisi menjadi hilang, seperti halnya talak dalam keadaan sehat. Pendapat ini adalah sahih menurut kalangan Syafi'iyyah.
2. Istri dapat mewarisi harta peninggalan ketika mantan suaminya meninggal dunia selama ia masih dalam masa ‘iddah-nya. Namun, jika mantan suaminya meninggal dunia sedangkan masa ‘iddah-nya sudah berakhir, istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan suami. Sebab, dalam masa ‘iddah, tali perkawinan masih dianggap utuh. Hal inilah yang disamakan dengan talak raj’i. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Hanafiyyah.
3. Istri tetap dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, baik ketika suami meninggal dunia di saat istri dalam masa ‘iddah-nya atau masa ‘iddah-nya sudah selesai, maupun selama istri belum menikah dengan lelaki lain atau murtad. Sebab, istri dapat memperoleh warisan ketika suami dikeluarkan dari kelompok orang-orang yang mewarisi harta peninggalan istri. Makna ini tidak bisa hilang dengan berakhirnya masa ‘iddah, sebagai interaksi untuk suami dengan melawan maksudnya. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Hambaliyyah.
4. Istri dapat mewarisi harta peninggalan suami secara mutlak, baik ketika suami meninggal dunia dia masih berada dalam masa ‘iddah-nya atau sudah berakhir, maupun ketika dia sudah menikah dengan lelaki lain atau belum. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Malikiyyah.

Pendapat yang diunggulkan atau yang paling kuat (rajih) dari keempat pendapat ini adalah pendapat ulama Hambali karena sahnya landasan yang mereka kemukakan terhadap sebab hak mewarisi bagi istri yang masih dalam masa ‘iddah dan setelah berakhirnya masa itu.

Pembatasan hak mewarisi istri dalam masa ‘iddah, sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan Hanafiyyah, adalah tidak beralasan, karena akibat talak ba'in itu dapat terjadi pada masa ‘iddah dan setelahnya. Namun, mereka memberikan hak mewarisi kepada istri sebagai imbalan interaksinya dengan suami sebelum talak dijatuhkan dan sebagai saddudz dzara-i (menghambat sesuatu yang menjadi sebab kerusakan).

Adapun memberikan hak waris kepada istri setelah dia menikah dengan lelaki lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh kalangan Malikiyyah, menyebabkan seorang istri dapat mewarisi harta peninggalan dari dua suami sekaligus. Hal ini bertentangan atau berbeda dengan ijma ulama yang berpendapat bahwa seorang istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan dari dua suami sekaligus dalam satu waktu.

Sedangkan pendapat kalangan Syafi'iyyah yang berbunyi bahwa secara mutlak istri tidak dapat mewarisi, bertentangan dengan ijma para sahabat. Setidaknya dengan Usman r.a. ketika dia memutuskan hak mewarisi bagi Tamadhir binti al-Ashbagh al-Kalabiyyah dari Abdurrahman bin Auf, yang telah mentalak ba'in istrinya dalam keadaan sakit keras. Keputusan ini sudah menyebar di kalangan sahabat, namun tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya. Riwayat lain adalah dari Urwah yang mengatakan, “Sesungguhnya, Utsman berkata kepada Abdurrahman, 'Jika Anda meninggal dunia, aku akan mewariskan harta peninggalanmu kepada istrimu.' Abdurrahman menjawab, 'Aku sudah tahu hal itu.'”

Bolehkah Membagi Harta Warisan Saat Pewaris Masih Hidup?
Seandainya calon pewaris masih hidup, atau bahkan sudah sekarat, maka harta tersebut sepenuhnya masih miliknya 100%, tidak boleh dibagikan tanpa seizinnya. Jika ada pembagian harta dari orang yang hidup, maka itu adalah pembagian harta biasa (hibah) yang besarnya tidak ada ketetapannya di dalam Al-Qur’an dan Hadits, jadi harta tersebut tidak bisa disebut sebagai harta warisan.

Salah satu rukun waris adalah adanya ahli waris dan adanya pewaris (orang yang meninggal). Jika belum ada orang yang meninggal, maka tidak akan ada pembagian harta warisan. Yang dikhawatirkan adalah, bagaimana seandainya calon pewaris tersebut ternyata tidak jadi meninggal dunia? Misalnya ia ternyata masih dikarunia umur oleh Allah beberapa tahun lagi? Maka sungguh kasihan nasib calon pewaris tersebut, seandainya hartanya sudah habis dibagikan.

Hal ini seringkali terjadi di dalam masyarakat kita. Ini hanyalah pemberian dari seseorang kepada kerabat-kerabatnya, yang bisa jadi dimaksudkan agar tidak terjadi keributan ketika ia wafat nanti. Maka agar tidak terjadi keributan, hendaknya pewaris saat hidupnya mengajarkan ilmu faraid kepada kerabat-kerabatnya, minimal yang berkaitan dengan keadaannya, tidak perlu membahas terlalu detail. Sebab keributan itu umumnya karena mereka tidak mengetahui ilmunya, atau bisa juga karena faktor keserakahan. Karena itu, pewaris hendaknya memberikan pendidikan ilmu faraid ini kepada pihak-pihak yang kelak akan mendapatkan harta warisannya, semoga mereka akan menerima dengan sepenuhnya segala ketentuan pembagian waris yang telah ditetapkan syariat Islam.

Bolehkah Menunda Pembagian Harta Warisan?
Pembagian harta warisan harus segera dilaksanakan setalah pewaris meninggal, tidak boleh ditunda-tunda, kecuali jika ada keadaan tertentu yang tidak memungkinkan, misal karena rumahnya belum laku dijual, atau ada ahli waris yang masih bayi/kecil, atau ada ahli waris yang banci, atau ada ahli waris yang hilang/tertawan, maka ada bagian yang dibekukan untuk sementara hingga diketahui keadaannya. Harta warisan adalah sepenuhnya milik para ahli warisnya, karena itu tidak boleh mengambil/menahan harta milik mereka. Segeralah ditunaikan jika mereka menginginkannya disegerakan, jangan sampai karena lama tidak dibagikan, akhirnya muncul kecurigaan dan kebencian dari para ahli waris, karena sesungguhnya mereka bisa jadi sangat membutuhkan harta tersebut.

Penundaan pembagian harta warisan seringkali terjadi manakala sang pewaris wafat masih meninggalkan istri, yakni ibu dari anak-anaknya. Maka anak-anak enggan atau merasa tidak enak untuk menyampaikan kepada ibunya tersebut, agar harta warisan segera dibagikan. Atau bisa juga karena sebab-sebab lainnya, misalnya ada salah satu rumah yang masih ditinggali oleh kerabatnya yang lain. Untuk itu, perlu adanya sikap bijaksana juga dari sang ibu, sesungguhnya harta warisan itu memang milik dan hak para ahli warisnya, diantaranya anak-anaknya. Orang yang paling dihormati tersebut diharapkan memberi pengertian ilmu faraid kepada mereka semua agar tidak terjadi perselisihan.

Bagaimana Membagi Harta Berjalan?
Harta berjalan, seperti rumah/kamar kontrakan yang disewakan, kios/toko, asuransi, tunjangan pensiun, perusahaan, saham, dan lain-lain milik pewaris adalah termasuk harta warisan yang juga harus dibagikan kepada ahli warisnya. Hanya saja caranya bisa berbeda-beda. Bisa langsung dijual, kemudian dibagikan kepada ahli warisnya sesuai syariat Islam. Atau bisa juga terus dikelola, lalu keuntungannya dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Satu hal yang harus dicatat, seluruh ahli waris tersebut harus sepakat/menyetujuinya.

Dalam hal ini, tidak ada dalil yang menyatakan bahwa harta berjalan harus dijual terlebih dahulu, jadi boleh para ahli warisnya mengelolanya hingga keturunannya nanti turut melestarikannya, itupun jika mereka sepakat/menyetujuinya. Di Indonesia ini cukup banyak usaha/perusahaan milik keluarga, dan salah satunya yang cukup besar adalah PT. Sinar Sosro.

Namun jika dikhawatirkan akan adanya khianat dan penyia-nyiaan amanah dari salah seorang atau sebagian ahli waris terhadap harta berjalan tersebut, maka sebaiknya dijual saja, kemudian dibagikan kepada seluruh ahli warisnya. Adapun mengenai harta diam, seperti uang, emas, mobil, motor, rumah, dan lain-lain, harus segera dibagikan kepada para ahli warisnya, dan tidak boleh ditahan-tahan pembagiannya kecuali jika ada alasan/sebab khusus.

Bolehkan Menetapkan Hukum Waris Berdasarkan Undang-Undang Negara/Adat?
Bagi orang yang beragama Islam, haram hukumnya menetapkan hukum waris secara negara/adat, jika memang ia bertentangan dengan hukum waris berdasarkan syariat Islam. Hanya Allah saja yang berhak menetapkan pembagian harta warisan ini, tidak boleh para raja, presiden, pemerintah, sesepuh, ataupun ketua adat menetapkan hukum waris ini jika bertentangan dengan syariat Islam.

Firman Allah, “(Hukum-hukum mengenai pembagian waris tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (Surat 4. AN NISAA' - Ayat 13,14)

Ayat ini disebutkan setelah membahas mengenai ayat-ayat waris, dan jika dikaji dari ayat ini, maka dapat kita pahami bahwa kita tidak boleh menetapkan tata cara pembagian warisan tanpa berlandaskan kepada hukum-hukum waris yang sudah Allah tetapkan tersebut.

Bagaimana Membagi Harta Waris Selain Uang?
Membagi harta selain uang, misalnya motor, akan terasa sulit jika ia masih berupa motor. Mengapa? Karena tidak mungkin kita memotong-motong fisik motor tersebut, agar masing-masing ahli waris mendapat bagiannya secara adil. Tentu saja hal seperti ini tidak mungkin. Maka cara yang termudah adalah hendaknya motor tersebut dijual terlebih dahulu, lalu uangnya dibagikan sesuai dengan hukum waris Islam.

Jika kita memiliki harta selain uang, seperti emas, mobil, motor, rumah, dan lain-lain, maka supaya harta tersebut dapat dibagikan dengan adil dan mudah, ia harus dijual terlebih dahulu, karena lebih mudah membagikan harta berupa uang daripada harta diam seperti itu. Namun, jika memang memungkinkan, misal harta tersebut berupa tanah, dan para ahli waris pun sama sepakat untuk mendiami/membangun di tanah tersebut, maka tidak perlu dijual. Tanah tersebut dapat diukur terlebih dahulu, lalu masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya sesuai dengan ketetapan Islam.

Cara lainnya, jika ada sebagian atau salah seorang ahli waris ada yang menginginkan harta selain uang tersebut, maka ia dapat membayar nilainya (membelinya), lalu uang hasil pembayaran tersebut dibagikan kepada ahli waris yang ada. Dalam hal ini, tidak ada paksaan bahwa harta tersebut harus dijual atau tidak, tergantung dengan kesepakatan para ahli warisnya, dan harap diperhatikan pula unsur keadilan dan kemudahannya, agar tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Bolehkah Mencantumkan Pembagian Warisan Pada Surat Wasiat?
Boleh mencantumkan pembagian warisan pada surat wasiat, bahkan dianjurkan jika para ahli waris belum memahami ilmu faraid. Misal, pada surat wasiat kita tuliskan pada point tertentu pembagian untuk istri 1/8, untuk ayah 1/6, untuk ibu 1/6, dan sisanya untuk anak-anak kita, dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan. Jika kita tidak menuliskannya, dikhawatirkan mereka akan membagikan harta warisan bukan berdasarkan syariat Islam. Namun jika para ahli waris sudah paham akan ilmu faraid, dan mereka memang bersungguh-sungguh hendak melaksanakannya, tidak dituliskan juga tidak apa-apa.