Kamis, 11 Desember 2008

HARTA WARISAN

PEMBAGIAN HARTA WARIS

Bolehkah Memberi Harta Warisan Sekedarnya Kepada Kerabat, Anak Yatim dan Orang Miskin?
Allah swt. berfirman, “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (Surat 4. AN-NISAA' - Ayat 8).

Sebagaimana kita ketahui, yang berhak untuk mendapatkan bagian waris hanya orang tertentu saja, sedangkan kerabat lainnya terhalang untuk mendapatkan waris. Namun, walaupun kerabat lainnya itu terhalang, jika mereka hadir dalam acara pembagian harta warisan itu, sangat dianjurkan agar merekapun diberi bagian tertentu dari warisan yang ada, dengan jumlah sekedarnya, yang telah disepakati dahulu oleh orang-orang yang berhak mendapatkan warisan. Begitu pula, jika dalam acara pembagian tersebut hadir anak yatim dan orang miskin, hendaknya mereka diberi juga, sekedar untuk menyenangkan hati dan meringankan beban mereka. Apakah kita akan tega, jika mereka semua melihat pembagian harta warisan itu, sedangkan mereka tidak diberi sedikitpun dari harta warisan yang ada?

Di dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an nya Sayyid Quthb disebutkan, “Mengenai ayat ini (ayat 8 surat an-Nisaa’) terdapat beberapa riwayat yang berbeda-beda dari para salaf. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh (dihapus) oleh ayat-ayat kewarisan yang menentukan batas-batas bagian tertentu untuk ahli waris (yakni ayat 11, 12 dan 176 surat an-Nisaa’). Ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini muhkamat (berlaku hukumnya, tidak terhapus). Diantaranya lagi ada yang mengatakan bahwa petunjuk ayat ini adalah wajib, dan sebagiannya lagi berpendapat mustahab, untuk menyenangkan hati ahli waris. Akan tetapi, kami melihatnya muhkamat dan menunjukan hukum wajib (memberi bagian kepada ulul-qurba, kerabat yang bukan ahli waris), dalam kondisi-kondisi seperti yang kami sebutkan. Karena, melihat kemutlakan nashnya dari satu sisi, dan melihat pengarahan Islam yang bersifat umum tentang tanggung jawab sosial dari sisi lain. Hal ini merupakan urusan lain diluar bagian-bagian ahli waris yang sudah ditentukan besar kecilnya dalam ayat-ayat berikut dalam kondisi apapun.”

Lalu bagaimanakah jika ada kerabat yang tidak hadir dalam acara pembagian warisan itu, namun sebenarnya kerabat tersebut adalah orang miskin yang memerlukan pertolongan harta? Di dalam kitab Fatwa-fatwa Mutakhir, halaman 637-642, dengan penerbit Yayasan Al-Hamidiy, beberapa anak yang ditinggal mati ayah dan kakeknya, menyampaikan isi hatinya kepada Dr.Yusuf Al-Qardhawi yang kemudian dijawab oleh beliau.

Berikut ini adalah curahan hati anak-anak yang ditinggal mati ayahnya dalam keadaan kakeknya masih hidup: “Kepada Ustadz (Dr.Yusuf Al-Qardhawi) kami kemukakan suatu kesulitan dengan harapan akan menemukan pemecahannya dari Ustadz. Kami tiga orang bersaudara, yang terbesar berusia empat belas tahun. Ayah kami meninggal dunia dalam keadaan ayahnya (kakek) masih hidup. Beberapa lama kemudian kakek kami itupun meninggal dunia. Para paman kami (saudara-saudara lelaki ayah kami) melaksanakan pembagian harta waris peninggalan kakek. Mereka sama sekali tidak memberikan bagian kepada kami. Mereka mengatakan: Seorang anak lelaki jika ia meninggal dunia dalam keadaan ayahnya masih hidup, anak-anaknya yang ditinggal mati itu tidak berhak menerima bagian dari harta peninggalan kakek yang meninggal kemudian. Ini merupakan hukum syara’. Atas dasar itulah kami tidak memperoleh sedikitpun bagian dari harta yang ditinggal oleh kakek kami, sedangkan paman-paman kami berbagi harta waris demikian lahap. Padahal mereka itu orang-orang kaya, sedangkan kami anak-anak yatim, lagi miskin. Ibu kami yang malang itu terpaksa membanting tenaga dan memeras keringat mencari nafkah untuk membiayai penghidupan kami hingga kami besar dan dapat bersekolah. Tidak seorang pun dari paman-paman kami membantu dan turut membiayai kami. Apakah yang mereka katakan itu benar? Yaitu bahwa hukum syara’ tidak memberi hak kepada kami untuk mendapat dari harta peninggalan kakek kami? Bukankah kami ini ini anak-anak keturunan dan anak lelakinya (cucu-cucunya). Akibat dari ketentuan itu hanya ibu kami sendiri yang memikul beban membiayai penghidupan kami. Kami mengharap jawaban secukupnya disertai penjelasan untuk memecahkan persoalannya menurut ketentuan hukum syara’.”

Berikut ini akan saya kutip secara singkat jawaban dari Dr.Yusuf Al-Qardhawi:

Itu merupakan problem bagi seorang anak lelaki yang wafat dalam keadaan ayahnya masih hidup, dan meninggalkan anak-anak keturunan. Pada waktu kakek mereka meninggal dunia para paman dan para bibi mereka berbagi waris, sedangkan anak-anak yang mati ayahnya (kemanakan-kemanakan mereka atau cucu-cucu kakeknya) tidak mendapat bagian sama sekali.

Menurut kenyataan, dipandang dari sudut hukum waris itu memang benar, yaitu bahwa cucu tidak turut mewarisi harta peninggalan kakeknya selagi anak-anak lelaki kakeknya itu masih ada. Sebab hukum waris ditetapkan atas dasar kaidah-kaidah tertentu, antara lain adalah: Orang yang peringkat hubungan kekeluargaannya terdekat dengan pihak yang meninggal dunia, ia akan menyekat (meng-hijab) peringkat hubungan kekeluargaannya yang lebih jauh dari orang yang meninggal dunia. Dalam hal seorang ayah wafat meninggalkan beberapa orang anak lelaki dan sejumlah cucu, maka yang berhak mewarisi harta peninggalan orang yang wafat itu adalah anak-anak lelakinya, sedangkan cucunya tidak berhak turut mewarisinya. Sebab, anak peringkat hubungan kekeluargaan dengan ayah mereka lebih dekat daripada cucu. Antara ayah dan anak hanya ada satu peringkat, sedangkan antara kakek dan cucu terdapat dua peringkat, yakni ada perantara, yaitu ayah. Dalam hal demikian itu, maka cucu tidak mempunyai hak waris atas harta peninggalan kakeknya.

Akan tetapi apakah itu berarti cucu-cucu yang ditinggal mati kakek mereka itu sudah terjauhkan sama sekali dari hak waris, sehingga mereka tidak akan dapat menerima bagian sedikit pun? Problem itulah yang diatasi oleh hukum syara' dengan beberapa cara:

Cara pertama:
Sebelum wafat, kakek wajib mewasiatkan sebagian hartanya (yang tidak melebihi sepertiga harta miliknya) untuk cucu-cucu yang ditinggal wafat ayah mereka. Wasiat demikian, menurut sebagian ulama salaf, merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Mereka berpendapat, bahwa wasiat merupakan suatu kewajiban (fardhu) yang tidak boleh diabaikan, dan harus diberikan kepada sejumlah kerabat, kepada pihak-pihak yang mengamalkan kebajikan, khususnya jika mereka itu tergolong kerabat dekat yang tidak mendapatkan hak waris. Wasiat harus diberikan atas dasar syarat, bahwa yang diberi wasiat bukan orang yang mempunyai hak waris. Mengenai itu Rasulullah s.a.w. telah menjelaskan: "Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak apa yang menjadi haknya. Karenanya tiada wasiat untuk seorang ahli waris."

Cara kedua:
Sebagaimana telah disadari oleh hukum syara’, dirasa masih perlu diberikan cara pemecahan lain untuk mengatasi problem seperti yang ditanyakan. Yaitu pada saat para paman anak-anak yatim itu sedang membagi harta peninggalan ayah mereka yang telah wafat, hendaknya memberikan sebagian, walau sedikit, harta peninggalan itu kepada kemanakan-kemanakan mereka yang tidak berayah lagi. Demikianlah yang ditentukan dalam Al-Qur'an sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an: "Dan jika pada waktu pembagian itu hadir kerabat (yang tidak mempunyai hak waris), anak-anak yatim dan orang-orang miskin; berilah mereka sebagian dari harta (peninggalan) itu dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada mereka." (S. An-Nisa: 8).

Kita dapat membayangkan bagaimanakah kiranya jika pada waktu pembagian harta peninggalan itu mereka datang dan melihat sendiri berapa banyak masing-masing menerima bagian, sedangkan mereka tidak diberi sama sekali? Ayat suci tersebut mendahulukan kerabat, sebab mereka itu memang berhak, apalagi anak-anak yatim kemanakan sendiri, anak-anak keturunan saudara mereka sendiri juga! Karena itu wajarlah jika paman-paman mereka diwajibkan memberi kepada mereka jumlah yang disetujui bersama yang kiranya dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan, terutama sekali jika harta peninggalan cukup besar dan banyak.

Jika kakek itu sendiri sebelum wafat lupa atau kurang memperhatikan nasib cucu-cucunya yang malang, maka paman-paman mereka lah yang seharusnya tidak sampai melupakan kewajiban mengulurkan tangan mereka, sebab mereka adalah kerabat terdekat.

Cara ketiga:
Sebagaimana yang ditetapkan dalam hukum syara', yakni perundang-undangan tentang pemberian nafkah menurut Islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam dari agama-agama yang lain ialah, Islam mewajibkan orang yamg hidup berkecukupan menolong kerabatnya yang hidup serba kekurangan, terutama sekali jika kedua belah pihak itu berhak saling mewarisi (yakni: yang satu merupakan ahli waris bagi yang lain secara timbal balik). Demikianlah menurut madzhab Hambali. Begitu pula jika yang satu merupakan muhrim bagi yang lain, demikian menurut madzhab Hanafi, seperti kemanakan misalnya.

Dalam hal-hal seperti itu maka memberi nafkah menjadi kewajiban pihak yang berkecukupan, kepada pihak yang serba kekurangan dan hidup menderita. Demikian yang akan diputuskan oleh Makamah Islam apabila problem seperti itu diajukan sebagai gugatan.

Islam tidak membiarkan seorang paman hidup berkecukupan mempunyai harta kekayaan, sedangkan kemanakan-kemanakan nya tidak mempunyai apa-apa dan dibiarkan begitu saja tanpa bartuan. Ibu mereka yang malang itu pun dibiarkan memeras keringat dan membanting tulang, sedangkan ia sendiri (paman itu) kaya dan hidup serba cukup. Itu tidak boleh terjadi menurut syariat Islam. Itulah antara lain yang membedakan Islam dari agama lain.

Bagaimanakah Cara Membagi Harta Bawaan dan Harta Bersama Antara Suami Dan Istri?
Harta bawaan adalah harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan isteri sebelum menikah, termasuk didalamnya hadiah, hibah serta warisan yang diterima dari pihak kerabatnya. Sedangkan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan isteri selama perkawinan, termasuk pula didalamnya hadiah, hibah serta warisan yang diterima dari pihak kerabatnya.

Islam sangat ketat dalam menentukan kepemilikan harta. Haram hukumnya mengambil harta orang lain tanpa seizinnya. Firman Allah, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Surat 2. AL BAQARAH - Ayat 188)

Karena itu, dalam membagi harta bawaan maupun harta bersama, harus diperhatikan agar batas-batas kepemilikian harta tersebut diatur terlebih dahulu, bahwa harta suami ada berapa dan harta istri ada berapa. Tidak boleh digabungkan kemudian dibagi warisannya secara sepihak.

Walaupun harta tersebut sudah didaftarkan atas nama suami atau atas nama istri, namun secara hakikat harta bersama memiliki kepemilikan yang terpisah. Jika dalam membeli sebuah rumah senilai 100 juta rupiah atas nama suami, dimana suami mengeluarkan 60 juta dan istri 40 juta, maka nilai kepemilikannya adalah, suami 60% dan istri 40%. Sampai kapanpun akan tetap demikian, walaupun kelak rumah tersebut akan bernilai tinggi, misalnya menjadi 1 milyar rupiah. Maka dalam hal ini suami menjadi memiliki saham 600 juta dan istri 400 juta. Dengan demikian, jika salah seorang dari suami atau istri meninggal, ia hanya boleh mewariskan harta miliknya saja. Jika ada hukum yang menetapkan bahwa harta bersama harus dibagi secara seimbang/sama-rata antara suami dan isteri (masing-masing 50%), walaupun mereka berpisah sebagai akibat dari perceraian atau kematian, maka hukum ini sangat bertentangan dengan hukum syariat Islam yang sangat menjaga kepemilikan harta antara suami dan istri, dan hukum ini tidak boleh diikuti oleh kita yang beragama Islam.

Permasalahannya adalah, tidak semua suami dan istri menghitung secara cermat harta miliknya sebelum dan selama perkawinan. Untuk melihat slip gaji dari pertama kali bekerja hingga sekarang pun tidak mudah, karena bisa jadi ia sudah beberapa kali berpindah-pindah kerja, dan bisa jadi slip gaji tersebut sudah tidak ada (hilang). Selain itu, selama pernikahan pasti ada pengeluaran lain yang tidak termasuk harta waris.

Penghasilan suami setiap bulan selalu dikurangi dengan biaya nafkah kepada istri dan anak, sedangkan istri tidak dikurangi dengan biaya nafkah, karena kewajiban memberi nafkah hanya ada pada suami. Karena itu, perlu ada sikap bijaksana antara suami dan istri. Bermusyawarah, berdiskusi dengan hati saling jujur, kemudian tentukan bagian harta suami dan istri saat ini dengan sama-sama ridho antara kedua belah pihak.

Sebenarnya cara yang terbaik adalah dengan mencatat setiap harta yang masuk dan keluar selama pernikahan, jadi akan jelas harta suami saat ini ada berapa, dan harta istri ada berapa. Namun jika tidak memungkinkan, kedua belah pihak harus saling sama-sama jujur dalam bermusyawarah dalam membagi harta masing-masing. Kedua belah pihak diharapkan sama-sama ridho dalam hal menerima hasil pembagian yang sudah disepakati bersama.

Apakah Anak Susuan Berhak Mendapat Warisan?
Anak susuan tidak berhak mendapatkan warisan dari ibu susuannya atau saudara sesusuan, kecuali jika ia termasuk kerabatnya yang memang berhak untuk mendapatkan warisan.

Apakah Ibu Tiri, Ayah Tiri dan Anak Tiri Berhak Mendapat Warisan?
Salah satu faktor bahwa seseorang berhak mendapatkan warisan adalah karena adanya ikatan pernikahan dan ikatan darah (kekerabatan). Karena itu, ibu tiri, ayah tiri dan anak tiri tidak mendapatkan warisan seandainya kita meninggal. Mereka hanya bisa mendapatkan harta melalui jual beli, hibah dan wasiat.

Apakah Istri yang Sudah Ditalak Mendapatkan Waris?
Sebelum membahas hal ini, harap diketahui dahulu bahwa talak itu sendiri ada yang berstatus raj’i (sewaktu-waktu bisa kembali) dan talak ba'in (tidak dapat kembali lagi). Selain itu, ada juga kondisi talak dalam keadaan sehat, dan talak dalam keadaan sakit keras.

Talak raj’i adalah suami yang mentalak istrinya dalam suatu pernikahan yang sah, baik yang sudah digauli atau belum, yang kurang dari tiga kali talak, dengan tanpa membayar mas kawin baru. Masa penungguan tersebut disebut juga masa ‘iddah raj’i. Talak raj’i tidak menjadi penghalang bagi suami istri untuk saling mewarisi, baik seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan sehat maupun sakit. Dengan demikian, hak suami-istri untuk saling mewarisi tidak hilang. Jadi, bila suami meninggal dunia, dengan meninggalkan istrinya yang sedang dalam masa ‘iddah raj’i, maka istrinya masih dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami dapat mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal dunia sebelum masa ‘iddah raj’i-nya berakhir. Para ulama tidak ada yang menyelisihi pendapat ini.

Adapun jika talaknya adalah talak ba'in (tidak dapat kembali) dan jatuh di saat penalaknya dalam keadaan sehat, talak semacam ini dapat menghalangi hak waris-mewarisi. Dengan demikian, istri yang ditalak oleh suaminya, pada kondisi seperti ini, tidak dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, menurut kesepakatan para ulama. Hak itu karena putusnya ikatan perkawinan sejak talak dijatuhkan. Demikian pula suami, tidak dapat mewarisi harta peninggalan istri, bila istri meninggal dunia dalam kondisi seperti ini, karena sebab yang sama, yakni putusnya tali perkawinan, sehingga hak waris-mewarisi menjadi hilang.

Jika talaknya ba'in dan jatuh di saat penalaknya dalam keadaan sakit keras, di mana dia tidak bermaksud menghilangkan hak mewarisi istrinya, maka mereka juga tidak dapat saling waris mewarisi. Misalnya jika istri meminta khulu', kemudian suaminya mengabulkan, atau bila istri meminta talak tiga, kemudian suaminya mengabulkan permintaan tersebut. Para ulama sepakat, dalam kondisi yang demikian, tidak dapat saling mewarisi karena suami tidak bermaksud menghilangkan hak mewarisi istrinya.

Jika talaknya adalah ba'in dan jatuh di saat penalaknya dalam keadaan sakit keras, di mana dia bermaksud menghilangkan hak mewarisi istrinya terhadap harta peninggalan, dalam hal ini terdapat empat pendapat ulama, yaitu sebagai berikut.

1. Istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan suami secara mutlak karena sebelum kematian suami, talaknya sudah ba'in, sehingga hak mewarisi menjadi hilang, seperti halnya talak dalam keadaan sehat. Pendapat ini adalah sahih menurut kalangan Syafi'iyyah.
2. Istri dapat mewarisi harta peninggalan ketika mantan suaminya meninggal dunia selama ia masih dalam masa ‘iddah-nya. Namun, jika mantan suaminya meninggal dunia sedangkan masa ‘iddah-nya sudah berakhir, istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan suami. Sebab, dalam masa ‘iddah, tali perkawinan masih dianggap utuh. Hal inilah yang disamakan dengan talak raj’i. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Hanafiyyah.
3. Istri tetap dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, baik ketika suami meninggal dunia di saat istri dalam masa ‘iddah-nya atau masa ‘iddah-nya sudah selesai, maupun selama istri belum menikah dengan lelaki lain atau murtad. Sebab, istri dapat memperoleh warisan ketika suami dikeluarkan dari kelompok orang-orang yang mewarisi harta peninggalan istri. Makna ini tidak bisa hilang dengan berakhirnya masa ‘iddah, sebagai interaksi untuk suami dengan melawan maksudnya. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Hambaliyyah.
4. Istri dapat mewarisi harta peninggalan suami secara mutlak, baik ketika suami meninggal dunia dia masih berada dalam masa ‘iddah-nya atau sudah berakhir, maupun ketika dia sudah menikah dengan lelaki lain atau belum. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Malikiyyah.

Pendapat yang diunggulkan atau yang paling kuat (rajih) dari keempat pendapat ini adalah pendapat ulama Hambali karena sahnya landasan yang mereka kemukakan terhadap sebab hak mewarisi bagi istri yang masih dalam masa ‘iddah dan setelah berakhirnya masa itu.

Pembatasan hak mewarisi istri dalam masa ‘iddah, sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan Hanafiyyah, adalah tidak beralasan, karena akibat talak ba'in itu dapat terjadi pada masa ‘iddah dan setelahnya. Namun, mereka memberikan hak mewarisi kepada istri sebagai imbalan interaksinya dengan suami sebelum talak dijatuhkan dan sebagai saddudz dzara-i (menghambat sesuatu yang menjadi sebab kerusakan).

Adapun memberikan hak waris kepada istri setelah dia menikah dengan lelaki lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh kalangan Malikiyyah, menyebabkan seorang istri dapat mewarisi harta peninggalan dari dua suami sekaligus. Hal ini bertentangan atau berbeda dengan ijma ulama yang berpendapat bahwa seorang istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan dari dua suami sekaligus dalam satu waktu.

Sedangkan pendapat kalangan Syafi'iyyah yang berbunyi bahwa secara mutlak istri tidak dapat mewarisi, bertentangan dengan ijma para sahabat. Setidaknya dengan Usman r.a. ketika dia memutuskan hak mewarisi bagi Tamadhir binti al-Ashbagh al-Kalabiyyah dari Abdurrahman bin Auf, yang telah mentalak ba'in istrinya dalam keadaan sakit keras. Keputusan ini sudah menyebar di kalangan sahabat, namun tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya. Riwayat lain adalah dari Urwah yang mengatakan, “Sesungguhnya, Utsman berkata kepada Abdurrahman, 'Jika Anda meninggal dunia, aku akan mewariskan harta peninggalanmu kepada istrimu.' Abdurrahman menjawab, 'Aku sudah tahu hal itu.'”

Bolehkah Membagi Harta Warisan Saat Pewaris Masih Hidup?
Seandainya calon pewaris masih hidup, atau bahkan sudah sekarat, maka harta tersebut sepenuhnya masih miliknya 100%, tidak boleh dibagikan tanpa seizinnya. Jika ada pembagian harta dari orang yang hidup, maka itu adalah pembagian harta biasa (hibah) yang besarnya tidak ada ketetapannya di dalam Al-Qur’an dan Hadits, jadi harta tersebut tidak bisa disebut sebagai harta warisan.

Salah satu rukun waris adalah adanya ahli waris dan adanya pewaris (orang yang meninggal). Jika belum ada orang yang meninggal, maka tidak akan ada pembagian harta warisan. Yang dikhawatirkan adalah, bagaimana seandainya calon pewaris tersebut ternyata tidak jadi meninggal dunia? Misalnya ia ternyata masih dikarunia umur oleh Allah beberapa tahun lagi? Maka sungguh kasihan nasib calon pewaris tersebut, seandainya hartanya sudah habis dibagikan.

Hal ini seringkali terjadi di dalam masyarakat kita. Ini hanyalah pemberian dari seseorang kepada kerabat-kerabatnya, yang bisa jadi dimaksudkan agar tidak terjadi keributan ketika ia wafat nanti. Maka agar tidak terjadi keributan, hendaknya pewaris saat hidupnya mengajarkan ilmu faraid kepada kerabat-kerabatnya, minimal yang berkaitan dengan keadaannya, tidak perlu membahas terlalu detail. Sebab keributan itu umumnya karena mereka tidak mengetahui ilmunya, atau bisa juga karena faktor keserakahan. Karena itu, pewaris hendaknya memberikan pendidikan ilmu faraid ini kepada pihak-pihak yang kelak akan mendapatkan harta warisannya, semoga mereka akan menerima dengan sepenuhnya segala ketentuan pembagian waris yang telah ditetapkan syariat Islam.

Bolehkah Menunda Pembagian Harta Warisan?
Pembagian harta warisan harus segera dilaksanakan setalah pewaris meninggal, tidak boleh ditunda-tunda, kecuali jika ada keadaan tertentu yang tidak memungkinkan, misal karena rumahnya belum laku dijual, atau ada ahli waris yang masih bayi/kecil, atau ada ahli waris yang banci, atau ada ahli waris yang hilang/tertawan, maka ada bagian yang dibekukan untuk sementara hingga diketahui keadaannya. Harta warisan adalah sepenuhnya milik para ahli warisnya, karena itu tidak boleh mengambil/menahan harta milik mereka. Segeralah ditunaikan jika mereka menginginkannya disegerakan, jangan sampai karena lama tidak dibagikan, akhirnya muncul kecurigaan dan kebencian dari para ahli waris, karena sesungguhnya mereka bisa jadi sangat membutuhkan harta tersebut.

Penundaan pembagian harta warisan seringkali terjadi manakala sang pewaris wafat masih meninggalkan istri, yakni ibu dari anak-anaknya. Maka anak-anak enggan atau merasa tidak enak untuk menyampaikan kepada ibunya tersebut, agar harta warisan segera dibagikan. Atau bisa juga karena sebab-sebab lainnya, misalnya ada salah satu rumah yang masih ditinggali oleh kerabatnya yang lain. Untuk itu, perlu adanya sikap bijaksana juga dari sang ibu, sesungguhnya harta warisan itu memang milik dan hak para ahli warisnya, diantaranya anak-anaknya. Orang yang paling dihormati tersebut diharapkan memberi pengertian ilmu faraid kepada mereka semua agar tidak terjadi perselisihan.

Bagaimana Membagi Harta Berjalan?
Harta berjalan, seperti rumah/kamar kontrakan yang disewakan, kios/toko, asuransi, tunjangan pensiun, perusahaan, saham, dan lain-lain milik pewaris adalah termasuk harta warisan yang juga harus dibagikan kepada ahli warisnya. Hanya saja caranya bisa berbeda-beda. Bisa langsung dijual, kemudian dibagikan kepada ahli warisnya sesuai syariat Islam. Atau bisa juga terus dikelola, lalu keuntungannya dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Satu hal yang harus dicatat, seluruh ahli waris tersebut harus sepakat/menyetujuinya.

Dalam hal ini, tidak ada dalil yang menyatakan bahwa harta berjalan harus dijual terlebih dahulu, jadi boleh para ahli warisnya mengelolanya hingga keturunannya nanti turut melestarikannya, itupun jika mereka sepakat/menyetujuinya. Di Indonesia ini cukup banyak usaha/perusahaan milik keluarga, dan salah satunya yang cukup besar adalah PT. Sinar Sosro.

Namun jika dikhawatirkan akan adanya khianat dan penyia-nyiaan amanah dari salah seorang atau sebagian ahli waris terhadap harta berjalan tersebut, maka sebaiknya dijual saja, kemudian dibagikan kepada seluruh ahli warisnya. Adapun mengenai harta diam, seperti uang, emas, mobil, motor, rumah, dan lain-lain, harus segera dibagikan kepada para ahli warisnya, dan tidak boleh ditahan-tahan pembagiannya kecuali jika ada alasan/sebab khusus.

Bolehkan Menetapkan Hukum Waris Berdasarkan Undang-Undang Negara/Adat?
Bagi orang yang beragama Islam, haram hukumnya menetapkan hukum waris secara negara/adat, jika memang ia bertentangan dengan hukum waris berdasarkan syariat Islam. Hanya Allah saja yang berhak menetapkan pembagian harta warisan ini, tidak boleh para raja, presiden, pemerintah, sesepuh, ataupun ketua adat menetapkan hukum waris ini jika bertentangan dengan syariat Islam.

Firman Allah, “(Hukum-hukum mengenai pembagian waris tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (Surat 4. AN NISAA' - Ayat 13,14)

Ayat ini disebutkan setelah membahas mengenai ayat-ayat waris, dan jika dikaji dari ayat ini, maka dapat kita pahami bahwa kita tidak boleh menetapkan tata cara pembagian warisan tanpa berlandaskan kepada hukum-hukum waris yang sudah Allah tetapkan tersebut.

Bagaimana Membagi Harta Waris Selain Uang?
Membagi harta selain uang, misalnya motor, akan terasa sulit jika ia masih berupa motor. Mengapa? Karena tidak mungkin kita memotong-motong fisik motor tersebut, agar masing-masing ahli waris mendapat bagiannya secara adil. Tentu saja hal seperti ini tidak mungkin. Maka cara yang termudah adalah hendaknya motor tersebut dijual terlebih dahulu, lalu uangnya dibagikan sesuai dengan hukum waris Islam.

Jika kita memiliki harta selain uang, seperti emas, mobil, motor, rumah, dan lain-lain, maka supaya harta tersebut dapat dibagikan dengan adil dan mudah, ia harus dijual terlebih dahulu, karena lebih mudah membagikan harta berupa uang daripada harta diam seperti itu. Namun, jika memang memungkinkan, misal harta tersebut berupa tanah, dan para ahli waris pun sama sepakat untuk mendiami/membangun di tanah tersebut, maka tidak perlu dijual. Tanah tersebut dapat diukur terlebih dahulu, lalu masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya sesuai dengan ketetapan Islam.

Cara lainnya, jika ada sebagian atau salah seorang ahli waris ada yang menginginkan harta selain uang tersebut, maka ia dapat membayar nilainya (membelinya), lalu uang hasil pembayaran tersebut dibagikan kepada ahli waris yang ada. Dalam hal ini, tidak ada paksaan bahwa harta tersebut harus dijual atau tidak, tergantung dengan kesepakatan para ahli warisnya, dan harap diperhatikan pula unsur keadilan dan kemudahannya, agar tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Bolehkah Mencantumkan Pembagian Warisan Pada Surat Wasiat?
Boleh mencantumkan pembagian warisan pada surat wasiat, bahkan dianjurkan jika para ahli waris belum memahami ilmu faraid. Misal, pada surat wasiat kita tuliskan pada point tertentu pembagian untuk istri 1/8, untuk ayah 1/6, untuk ibu 1/6, dan sisanya untuk anak-anak kita, dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan. Jika kita tidak menuliskannya, dikhawatirkan mereka akan membagikan harta warisan bukan berdasarkan syariat Islam. Namun jika para ahli waris sudah paham akan ilmu faraid, dan mereka memang bersungguh-sungguh hendak melaksanakannya, tidak dituliskan juga tidak apa-apa.

Tidak ada komentar: